Liburan panjang kali ini membuat Ari bosan. Kecuali dia bisa menemani ibunya dan sedikit-sedikit membantu sebisa mungkin kalau ada pesanan jahitan. Toha dan Nara sudah mulai sibuk bolak-balik ke padepokan untuk belajar pada Bang Yudha. Wira sudah pasti akan menghabiskan liburannya di tempat asal kakek buyutnya. Baru beberapa hari yang lalu Tata bilang ke Ari kalau dia telah menghubungi Kak Karin lewat telepon. Tata ingin sekali bertemu langsung dengan Kak Karin. Sudah lama Tata mengidolakan Kak Karin semenjak membaca bukunya. Dan Tata berhasil meyakinkan ibunya untuk terapi lagi ke psikiater. Kali ini Tata mengajukan Kak Karin sebagai psikiaternya. Kebetulan Kak Karin buka praktek di rumahnya. Ibu Tata tentu dengan senang hati mengijinkan anaknya untuk pergi ke psikiater. Hari ini pertama kali Tata bertemu dengan Kak Karin. Ari berharap malam ini Ibunya Tata ada acara keluar rumah. Ari sudah rindu mendengar suara Tata lagi.
Jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Ari baru masuk ke kamarnya setelah tadi membereskan pekerjaan membantu ibunya menjahit. Malam ini angin kencang masuk ke kamarnya. Ari menutup jendela karena titik-titik hujan sudah mulai turun dari langit. Biasanya sebentar lagi dia akan mencium bau melati. Tapi Ari tidak peduli. Dari tadi dia perhatikan ponselnya, berharap Tata akan menelpon malam ini. Hingga setengah jam Ari mulai pasrah dan dia sudah mulai mencium bau melati.
“Belinda…” Ari mengarahkan pandangan ke kasurnya. Dia tahu Belinda sudah duduk rapi disana.
Dan Belinda memang di sana, memakai baju balet seperti biasanya, duduk dengan kaki dan tangan terlipat, mata merah birunya tajam menatap Ari. Hantu remaja bermuka pucat itu tersenyum kecil ke Ari.
“Masih banyak yang datang ke rumah sakit…” Belinda bersuara lirih.
“Tapi mereka nggak bisa masuk kan?” tanya Ari spontan.
“Nggak ada yang bisa masuk…” jawab Belinda,” Mereka berisik sekali…”
“Maksudnya?” tanya Ari.
“Mereka suka teriak-teriak…”
Ari tidak begitu paham cerita Belinda. Apalagi saat ini dia sedang gundah memikirkan Tata.
“Belinda… Mau nggak kamu antar aku ke tempat Tata lagi,” Ari spontan mengungkapkan apa yang ada di kepalanya.
Belinda menggeleng.
“Aku takut…” muka Belinda jadi serius.
“Takut kenapa?” tanya Ari.
“Mereka sudah tahu kita…” jawab Belinda.
“Yang tunggu di hutan kering?”
Belinda mengangguk. Ari pun maklum, sosok-sosok penunggu hutan kering begitu mengerikan. Ari masih ingat mereka pernah dikerjar sosok-sosok dengan baju belepotan tanah dan ilalang yang tumbuh di punggung mereka. Ari tadi hanya asal bicara pada Belinda supaya bisa bertemu Tata. Lalu ponsel Ari berdering. Ternyata dari Tata. Cepat-cepat Ari mengambil ponselnya. Saking antusiasnya, Ari sampai hampir menjatuhkan ponselnya.
“Halo Ta,” Ari langsung menjawab.
“Halo Ri, belum tidur?” Suara Tata terdengar lembut di ponsel Ari.
“Belum, kamu?”
“Tadi aku mau tidur, tapi aku pengen nelpon kamu…”
“Mama kamu lagi pergi ya?”
“Iya, lagi pada nginep di rumah bude.”
“Hari ini jadi ketemu Kak Karin kan Ta?”
“Iya Ri, tadi siang aku ketemu Kak Karin…”
“Terus kamu konsultasi apa aja Ta?”
“Tahu nggak Ri, seharian tuh kita cuman ngobrol aja… Kak Karin itu orangnya asik ya Ri…”
“Iya emang sih Ta.”
“Terus dia itu orangnya cool banget… Aku jadi pengen kayak Kak Karin deh Ri…”
Selintas Ari membayangkan bagaimana Tata akan berubah. Suatu saat Tata bukanlah Tata yang terlihat lemah yang selalu harus dia lindungi. Ari membayangkan Tata seperti Kak Karin yang bersahaja tapi murah senyum. Sementara di depan Ari, Belinda mulai bergerak mondar-mandir. Sebenarnya Ari merasa terganggu dengan tingkah hantu itu, terutama saat dia sedang bicara dengan Tata di telepon.
“Kenapa sih Ri?” tanya Tata, karena sebentar tadi Ari hanya diam.
“Mmm, nggak apa-apa kok Ta,” jawab Ari sembari masih sebel sama Belinda yang masih mondar-mandir di depannya,” Eh Ta, kamu ditanyain sama mamaku lagi… Aku tuh dah bilang berkali-kali, kalau Tata tuh susah ke sininya.”
Tata tertawa,” Gimana kalau besok aku ke situ… Mumpung mamaku masih dua hari lagi di rumah bude… Ntar aku bilang ke mama aku ke rumah Astri…”
“Beneran Ta?”
“Iya Ri… Mama kamu sehat kan?”
“Sehat sih Ta… Cuman yah… agak nggak enak badan aja… Abis dianya sih kebanyakan njahit mulu…”
Tata tertawa lagi,”Ntar aku bawain buah yang banyak ya Ri…”
“Iya makasih Ta… Nggak usah repot-repot sih…”
“Eh Ri… Inget bola api yang kita lihat waktu study tour nggak?”
“Iya Ta… Kalau aku pikir-pikir dia sengaja ngelindungin kamu ya Ta… Kamu nggak nanya sama Kak Karin?”
“Udah sih… Tapi kata Kak Karin nggak usah terlalu dipikirin… Jadikan buat pengalaman berharga aja katanya.”
Ari jadi teringat bola api yang ada di sekolah. Lalu bau kabel terbakar yang mengingatkan dia pada hantu lidah menjulur. Ari mencoba mengambil nasehat Kak karin pada Tata untuk tidak terlalu memikirkannya. Dan baru dia disadari, Belinda sudah duduk rapat di sebelahnya. Ari jadi risih, bukan hanya karena Belinda hantu, tapi saat ini dia sedang bicara dengan Tata. Ari melirik ke Belinda, menunjukkan kalau dia tidak suka dengan kelakuan hantu itu.
“Ada apa sih Ri?” tanya Tata
“Mmm, ini ada Belinda disini…” kata Ari akhirnya.
“Ngapain dia Ri?”
“Dari tadi dia mondar-mandir Ta… Sekarang dia duduk di sebelahku…”
“Kapan-kapan aku mau lihat Belinda dong Ri…”
“Beneran Ta?”
“Kalau besok aku ke rumah kamu, bisa nggak aku lihat dia?”