Komplotan Tidak Takut Hantu

Mohamad Novianto
Chapter #89

Bab 88 : Teriakan dari Dinding Gudang Bawah Tanah

Ari dan Tata buru-buru keluar dari kamar. Beberapa saat tadi mereka sadar sudah terlalu lama berada di alam sana. Disana jarum jam tangan mereka tidak bergerak. Dan benar saja, mereka seperti cuma beberapa menit disana. Ari dan Tata sempat melihat jam dinding di kamar. Lebih dari tiga jam mereka berdua disana. Lalu ada tiga notifikasi miscall di ponsel Tata dari ibunya.

“Kamu nggak telpon balik mama kamu Ta?” tanya Ari.

“Ntar aja Ri, kalau udah di taxi,” kata Tata yang buru-buru memakai sepatunya.

Tata tidak berpamitan dengan ibu Ari karena sedang tidur. Dan di luar hujan mulai turun. Ari pun mengambil payung untuk mengantar Tata mencari taxi. Di pinggir jalan, Ari dan Tata bediri di bawah satu payung. Kali ini, berdua mereka memegang payung sembari saling pegang tangan. Taxi yang mereka tunggu tak kunjung datang sementara hujan semakin deras.

“Ri, ingat nggak dulu pertama kali aku main ke rumah kamu?” tanya Tata di sela hujan.

“Iya Ta, dulu hujan juga ya waktu aku antar kamu cari taxi,” jawab Ari.

Di bawah payung, Ari dan Tata bertatapan lama mengenang masa itu. Waktu itu, walau ada Tata, Ari masih memikirkan hantu yang dia anggap jadi biang kematian bapaknya. Sekarang Ari sudah tidak peduli lagi dengan hantu itu, karena Tata sepenuhnya sudah mengisi hidupnya. Lalu ponsel Tata bergetar di dalam tasnya. Ternyata ada panggilan dari ibunya. Tata jadi kelabakan karena dia belum berada di dalam taxi.

“Halo Ma…” jawab Tata dengan suara terbata.

“Kamu dimana Ta… Berkali-kali mama telpon nggak diangkat…” suara ibu Tata keras di ponsel Tata.

“Mmm… ini sedang nunggu taxi Ma… Di pinggir jalan… Tadi HP Tata lowbat… HP Tata dicharge di dalam rumah Astri… Tata ngerjainnya kan di kebon…”

“O gitu… Mama mau bicara sama Astri dong Ta.”

“Mmm… Astrinya…. Astrinya nggak bisa nganter Tata Ma… Ini kan lagi hujan… Astri agak nggak enak badan… Jadi Tata cuman pinjem payung aja sama Astri…”

“Tata… Tata… Lagian kenapa sih kamu nggak mau dianterin sama Pak Rado aja…”

“Kan Tata udah bilang… Gangnya rumah Astri itu sempit… Nggak bisa masuk mobil Ma…”

“Kan Pak Rado bisa cari parkir di tempat lain… Nanti tinggal jemput kamu aja… Pokoknya besok-besok kamu harus dianterin Pak Rado…”

Ari yang diam di sebelah Tata jadi tegang mendengar Tata bicara dengan ibunya. Beberapa saat Tata masih berargumen dengan ibunya. Tapi pada akhirnya Tata berusaha untuk mengalah.

“Iya… Iya Ma… Kapan-kapan Tata dianter sama Pak Rado aja…” Lalu Tata menutup telponnya.

Saat itu juga ada taxi lewat di depan mereka. Ari dan Tata cepat-cepat menghentikannya.

“Ri… Kayanya aku harus bawa payungnya deh,” kata Tata buru-buru,”Soalnya tadi aku cerita ke mama pinjam payung dari Astri… Gimana Ri?”

“Iya bawa aja Ta,” Ari tahu, Tata harus bermasalah dengan ibunya gara-gara datang ke rumahnya.

Tata cepat-cepat masuk taxi. Cuma beberapa detik saja Ari dan Tata sempat saling melambaikan tangan. Selebihnya, dengan badan basah kuyup diterpa derasnya hujan, Ari hanya bisa memandangi taxi Tata yang menjauh. Lama-lama Ari berpikir semua ini jadi tidak adil buat Tata. Untuk datang ke rumah Ari, Tata harus bohong pada ibunya. Ada rasa bersalah muncul pada Ari, bagaimana Tata harus menanggung hubungan yang tidak baik dengan ibunya. Tapi di bawah guyuran deras hujan, Ari merasa hari hari ini adalah hari yang terbaik di sepanjang hidupnya. Dan Tata adalah hal terbaik yang pernah dia miliki.

***

Sebulan sudah berlalu. Libur panjang telah selesai. Sinar pagi mulai menerangi bangunan tua sekolah favorit. Ini hari pertama masuk sekolah. Ari ada di antara anak-anak yang datang pagi ke sekolah. Langkah Ari penuh semangat. Bukan karena ini hari pertama dia ada di kelas 12, tapi karena hari ini dia akan bisa melihat Tata lagi.

Sesaat Ari perhatikan salah satu bagian atap gedung sekolah. Sebulan lalu Ari lihat bola Api terbang di atasnya. Tapi sepertinya Ari merasa pagi ini tidak ada sesuatu di sana. Ari pun berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. Saat lewat parkir sepeda, Ari melihat Toha baru memarkir sepedanya. Ada yang beda dari Toha. Sepertinya sebulan ini Toha tidak memotong rambut. Rambutnya yang keriting tampak tebal di kepalanya. Bagian belakangnya sudah melebihi krah baju.

“Ri… Akhirnya gue bisa datang sepagi lo…” Toha menghampiri Ari sembari memasang topi di kepalanya.

“Iye bagus lah Ha,” Ari masih memperhatikan Toha yang bicara sambil mengunyah permen karet. Tidak biasanya Toha memakai baju dengan lengan ditekuk dan kancing bagian atas dibuka. Lalu topi di kepalanya dipakai terbalik.

“Hai Gaes,” suara Nara terdengar di belakang Ari dan Toha.

Ari menoleh ke belakang. Nara disana sedang berjalan santai ke arah Ari dan Toha. Mata Ari setengah terbelalak. Ari melihat penampilan Nara benar-benar berbeda. Rambut Nara dipotong pendek hingga sebatas leher. Dan Nara tidak memakai jaket merah yang biasa dia pakai. Nara memakai jaket jeans yang tidak ada tudung kepalanya.

“Kenapa, nggak suka ya sama penampilan gue?” kata Nara dengan muka cuek.

“Mmm enggak… Mmm bagus kok,” Ari berusaha basa-basi. Tapi sepertinya Toha tidak terlalu terkejut dengan penampilan baru Nara.

“Ntar jadi kan kita ketemu Kak Karin?” tanya Toha ke Ari.

“Iya Ha… Harusnya sih jadwalnya setelah pulang sekolah,” jawab Ari.

Lalu dari gerbang sekolah kencang terdengar suara kendaraan yang meraung. Hampir semua murid yang masih di halaman menoleh ke sana.

“Lho itu kan Wira?” kata Toha menunjuk seorang murid mengendarai motor yang baru masuk gerbang.

“Ganti motor dia?” guman Ari. Biasanya Wira pakai vespa butut. Kini dia melaju kencang dengan motor laki layaknya geng motor.

Saat menuju ke kelas 12, Ari, Toha dan Nara berpapasan dengan Wira.

Lihat selengkapnya