Ari duduk di depan meja belajarnya. Malam ini dia hanya menata buku-buku paket barunya di rak. Selebihnya, dia tak pernah berhenti memikirkan pertemuannya dengan Tata besok di kantin sekolah. Lalu ponselnya bunyi. Ada panggilan dari Nara.
“Halo Ri… Gimana, ada kabar dari Toha?” Tanya Nara di ponsel Ari.
“Mmm, belum sih…” jawab Ari.
“Ah biasa tuh anak… Kalau disuruh nanya sama bapaknya suka males-malesan,” kata Nara kesal.
“Yah mungkin belom sempet Ra… Kenapa Ra?”tanya Ari polos.
“Gimana sih lo Ri… Tahu sendiri apa yang kita lihat tadi siang… Kalian serius nggak sih?”
“Kalau nggak, lo telpon aja si Toha sekarang.”
“Males ah. Gue paling males musti ngejar-ngejar orang yang nggak punya inisiatif.”
“Ya udah, ntar gue yang telpon ke Toha.”
“Iya mending lo yang telpon Ri.”
“Iya deh…”
“Ok, ntar kabarin gue ya.”
“Ok.”
Ari pun menutup ponselnya. Dia maklum, Nara memang begitu kalau sedang kesal dengan seseorang. Lalu Ari mulai menghubungi nomor Toha.
“Halo Ha, gimana? Ada info dari bapak lo?” tanya Ari tanpa basa-basi.
“Mmm, ya gitu… Kalau yang di bawah tanah, itu mereka ngga bisa masuk Ri… Mereka dari pelabuhan… Suruhan rajanya…” jawab Toha di ponsel malas-malasan.
“Emang yang di pelabuhan ada kerajaan jin ya?” tanya Ari lagi berusaha mengorek lebih lanjut.
“Kata bokap sih, di sana banyak koloni-koloni gitu… Di sana kan memang tempat pembuangan jin..”
“Kayak hantu bayangan waktu itu ya?”
“Ya gitu… Di sana banyak yang pengen berkuasa… Kalau raja jin ini, kata bokap dia pelarian dari kerajaan jin yang lebih besar lagi di lautan sono…”
Ari tertegun sejenak. Betapa sekolah mereka terhubung dengan sesatu yang begitu menakutkan. Dan hanya dia dan komplotannya yang tahu.
“Berarti raja jin ini yang paling kuat di sana ya?”
“Ya gitu deh… Tapi gue nggak takut… Justru gue mau buktiin kemampuan gue… Cuman males aja sama bokap…”
“Kenapa?”
“Jusrtu bokap bilang, gue nggak boleh main-main… Kita kan nggak sedang main-main kan Ri?... Kita kan sedang menjalankan misi…”
“Iya sih…” Tapi sebenarnya Ari setuju dengan bapaknya Toha. Semakin banyak tahu, kini Ari semakin khawatir. Sesuatu yang lebih besar mungkin sedang menghantui sekolahnya. Dan bagaimanapun Tata berubah, Ari tetap selalu khawatir dengan keselamatan Tata.
Lalu ada panggilan lain masuk ke ponsel Ari. Ternyata dari Tata.
“Eh Ha… Ntar dulu ya… Ada telpon dari Tata… Ntar gue telpon lo lagi,” Ari langsung memutus sambungannya dengan Toha.
“Halo Ta,” Ari langsung menjawab panggilan Tata.
“Hai Ri, belum tidur?” suara Tata lembut di ponsel Ari.
“Belum lah Ta… Mama kamu lagi keluar ya Ta?”
“Iya, keluarga besar aku lagi ngumpul di tempat bude… Mau bahas lagi masalah orang yang ngaku-ngaku keluarga aku Ri…”
“Masih belum kelar masalahnya Ta?”
“Belum Ri… Kayaknya sih tambah serius… Justru aku mau cerita ke kamu… Tadi siang pas pulang sekolah, pas di parkiran, ada orang manggil-manggil aku Ri dari luar pagar… Ibu-ibu gitu…”
“Dia manggil nama kamu?”
“Iya Ri.”
“Berarti dia kenal kamu dong Ta?”
“Tahu deh Ri… Terus kan aku samperin… Kayaknya dia mau ngomong sesuatu ke aku… Tapi keburu mama aku telpon… Kan aku bilang ke mama, ada ibu-ibu yang manggil aku… Mama aku langsung suruh aku pergi jauh-jauh dari orang itu… Tapi orang itu sempet kasih aku selendang…”
“Terus kamu ambil selendangnya?”
“Iya.”
“Mama kamu tahu?”
“Enggak.”
“Terus selendangnya dimana?”
“Masih ada tuh di tas aku.”
“Berarti bener dong Ta, ada orang yang ngaku-ngaku keluarga kamu, yang katanya masih keturunan kerajaan mana tuh…?”
“Tahu deh Ri… Nggak terlalu aku pikirin juga sih… Eh besok jadi kan kita ketemuan di kantin,” kata Tata mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia sudah tidak berminat membicarakan hal di luar jangkauannya.
“Jadi lah Ta… Tapi kamu yakin?”
“Kok kamu jadi ragu gitu sih Ri?”
“Mmm gimana ya Ta… Ntar apa kata orang-orang… Terus nanti mama kamu gimana?”
“Ri, kita bisa buktikan ke orang-orang, ke mama aku juga. Siapa pun kita, apa pun yang orang pikirkan, kita bisa berbuat sesuatu yang terbaik, buat diri kita sendiri dan buat orang lain. Kemarin kan kamu udah bisa ranking satu kan Ri. Ntar kita harus bisa masuk universitas favorit ya Ri.”
“Iya Ta,” Sejenak Ari terkesima dengan kata-kata Tata. Mungkin setelah beberapa kali bertemu Kak Karin, sikap Tata jadi lebih dewasa. Dan seperti biasa, setelah berbicara dengan Tata, Ari jadi tambah semangat. Ari sudah tidak sabar bertemu Tata di kantin besok.
Ari berjalan melewati gerbang sekolah. Pagi ini dia begitu semangat melangkahkan kakinya. Jam istirahat pertama nanti, dia akan bertemu Tata di kantin. Untuk kesekian kali, sejenak Ari melihat atap gedung sekolah. Di bawah atap itu ruang kepala sekolah. Seperti saat ini, Ari berharap dia tidak akan pernah melihat bola api itu lagi. Lalu dia melihat sekitar. Beberapa murid yang baru tiba berjalan di halaman sekolah. Kata-kata Tata masih di ingatannya. Dia ingin buktikan dirinya bisa seperti mereka-mereka. Dia berharap, suatu saat ibunya Tata akan menerimanya.
Saat melewati parkir sepeda, Ari bertemu Toha. Wajah Toha tampak tegang.