Bel pulang sekolah berbunyi. Toha, Wira dan Nara jadi yang pertama keluar pintu kelas. Ari buru-buru mengemasi tasnya dan mengejar ketiga temannya. Ari mencoba mempercepat langkahnya, karena dia sudah tidak melihat ketiga temannya di depan. Ari hanya tahu, dia harus menuju ke kelas 10. Di salah satu kelas yang berdekatan dengan parkir sepeda, Ari melihat Nara sedang berdiri di tengah lorong yang sudah kosong. Di depan Nara, seorang murid perempuan sedang berdiri ketakutan. Ari tahu, murid perempuan itu anak kelas 10.
“Kita tahu lo yang bawa hantu yang kulitnya item!” Nara berbicara keras di depak anak kelas 10 itu,” Kita juga tahu, dia yang bikin onar di sekolah, yang bikin anak pingsan.”
Ari melihat anak perempuan itu menunduk takut di depan Nara. Tapi lama Ari perhatikan, wajah dan postur tubuh anak itu mirip dengan hantu berkulit hitam yang digambar Toha. Sementara Nara masih sibuk memberi ceramah, Ari menyusur ke dekat parkir sepeda. Disana ada Toha dan Wira. Ari melihat Wira sudah memakai cincinnya. Dan Toha berdiri agak jauh di tengah parkir sepeda. Dia terlihat sedang menggerak-gerakkan tangannya ke atas dan ke bawah. Dan di sudut parkir, Ari melihat hantu anak perempuan berseragam sekolah yang wajah dan kulitnya hitam legam. Wajah dan postur tubuhnya mirip anak yang sekarang diceramahi Nara. Beberapa kali Ari melihat binatang berkaki empat seperti macan berbulu hitam mondar-mandir di depan hantu anak berkulit hitam itu. Hantu itu sepertinya tidak bisa bergerak kemana-mana dan dia terlihat takut pada sosok binatang berkaki empat yang mondar-mandir di depannya. Lalu Ari melihat lagi anak kelas sepuluh yang masih berdiri menunduk di depan Nara. Ari jadi merasa iba pada anak itu.
“Kalau lo nggak bisa kontrol sama apa yang ngikutin lo, lo tahu sendiri akibatnya!” Nara semakin kasar bicara pada anak kelas 10 itu
“Sori gue selak Ra,” Ari menyela pembicaraan Nara,”Boleh tahu nama kamu siapa?” Ari bertanya pada anak kelas 10 itu dengan nada pelan.
Sebentar anak kelas 10 itu memandangi Ari. Takut di wajah nya mulai berkurang.
“Susan Kak…” jawab anak itu masih takut-takut.
“Kelas berapa?” tanya Ari lagi.
“Kelas 10-6 Kak…” jawab anak itu.
“Ok Susan, bisa nggak kamu ke sekolah, nggak usah bawa-bawa yang suka ngikut kamu?” tanya Ari pelan.
“Bisa… Bisa Kak,” jawab anak itu cepat, seperti berterimakasih Ari sudah menyelamatkannya dari cercaan Nara.
“Yakin kamu bisa?” tanya Nara kasar masih belum terima.
“Yakin kak,” anak itu mulai berani menjawab Nara.
“Ya udah, sekarang kamu pulang,” kata Ari,”Besok jangan bawa-bawa yang ikut kamu lagi.”
“Terimakasih kak,” kata anak itu. Tapi pandangannya hanya ke Ari.
Lalu anak itu mulai meninggalkan Ari dan Nara.
“Gaes lepasin dia!” Ari setengah teriak ke Toha dan Wira untuk membiarkan pergi hantu anak perempuan berkulit hitam.
Toha dan Wira yang berdiri agak berjauhan hanya saling pandang.
“Gaes?” Ari meminta lagi pada Toha dan Wira.
Toha dan Wira pun beranjak dari tempat parkir sembari sesekali melihat ke belakang. Hantu anak perempuan berkulit hitam itu mulai menghilang. Dari jauh, anak kelas 10 masih terlihat berjalan cepat-cepat menuju parkir mobil.
“Ri kenapa kita lepas hantu itu,” protes Toha ke Ari.
“Anak itu kan sudah berjanji tidak akan membawanya lagi,” sergah Ari.
“Tapi kita kan harus kasih pelajaran supaya dia tidak bikin onar lagi,” cetus Wira membela Toha.
“Lihat dong anak itu. Dia sudah ketakutan diceramahin Nara,” Ari menjelaskan.
“Iye, tapi kalau besok tetep ada anak yang pingsan gimana?” tanya Nara.
“Ya semoga besok akan aman-aman aja,” jawab Ari. Tapi suaranya tidak yakin.
Melihat wajah Ari yang ragu, teman-teman Ari jadi kesal.
“Ya udah kita lihat besok,” kata Toha sambil lalu sembari menuju ke sepedanya.
“Seharusnya sih besok akan aman-aman aja,” Wira berguman meyakinkan teman-temannya.