Siang ini Ari dan Tata bertemu lagi di warung bakso. Tadi di lobby klinik, Ari dan Tata tidak melihat perempuan berbaju ratu jawa dan ular-ularnya lagi. Yang ada hanya satu ular besar yang memakai mahkota, meringkuk di kolam seperti sembunyi. Setelah jadwal terapi mereka memang berencana kabur lewat tembok belakang. Mereka sempat lihat sopir Tata kebingungan mencari Tata di klinik. Dengan perasaan geli Ari dan Tata menyelinap menghindari sopir itu menuju belakang gedung. Di warung bakso, sepasang anak SMU bermuka rata yang mereka lihat minggu lalu tidak ada di tempatnya. Setelah menghabiskan mangkok mereka, Tata mengeluarkan diarynya. Lalu dengan serius Ari membacanya lembar demi lembar. Ari membaca lagi bagian yang paling depan.
“Yang ini kamu masih kecil ya?” tanya Ari sambil masih serius ke diary Tata.
“Iya itu aku masih TK,” jawab Tata di sebelah Ari.
“Perempuan yang pakai payung ini sekarang masih suka nungguin kamu di depan pagar rumah?”
“Sekarang udah jarang. Kadang-kadang kalau lagi hujan dia nongol di depan pagar. Itu yang bikin mamaku marah-marah dulu. Karena aku suka teriak ada orang kehujanan di luar.” kata Tata sambil tertawa lepas. “O iya, aku belum tulis lagi. Terakhir aku lihat dia sekitar sebulan yang lalu. Waktu itu hujan deres. Aku di mobil. Pas mobil mau keluar, dia ada tuh di depan pagar. Waktu itu aku beraniin lihat ke muka dia. Dia itu ibu-ibu yang setengah tua. Terus dia melambai ke aku. Trus aku balas melambai ke dia.”
“Kenapa kamu melambai ke dia?” tanya Ari serius.
“Ya abis lama-lama aku kasian ama dia. Kayaknya dia sedih. Kayak kehilangan anaknya gitu.”
Lalu Ari mengambil lembaran kertas dari tasnya. Dia tunjukkan ke Tata. Gambar pertama dia tentang keluarga yang tinggal di dalam sumur. Tata langsung tertawa melihat gambar itu.
“Ini kok kakinya pada berbulu?” tanya Tata dengan sisa tertawanya.
“Iya emang begitu satu keluarga,” jawab Ari masih serius. “Dia tinggal di dalam sumur sebelah rumah. Waktu itu aku masih tinggal di rumah nenek. Sekarang papa aku udah beli rumah sendiri.”
“Kamu pernah ke rumah nenekmu lagi?”