Hari berlalu. Ari sudah lulus SMP. Dia masuk ke SMU favorit karena dulu bapaknya guru senior di situ. Ari bukan anak yang pintar. Memang ada jatah buat anak-anak guru untuk masuk ke sana. Pagi ini hari pertama dia masuk sekolah. Dia berangkat membonceng Ibunya naik motor. Setelah bapak Ari meninggal, ibu Ari dapat pekerjaan di sekolah itu sebagai staf tata usaha. Sampai depan pagar sekolah, Ari minta turun. Dia malu dilihat anak lain berangkat sekolah membonceng ibunya.
“Udah Ma, Ari turun sini aja,” pinta Ari di belakang ibunya.
“Kenapa ngga sekalian di dalem aja sih,” tanya ibunya melambatkan motor.
“Ih, udah ah, sini aja,” paksa Ari.
Ibu Ari menghentikan motor, membiarkan anaknya berjalan bergabung dengan anak-anak lainnya di hari pertama. Ari sudah masuk gerbang sekolah, menatap gedung sekolah barunya. Bangunan yang dibangun pada jaman penjajahan Belanda. Gedungnya tua, dengan tembok tebal dan jendela yang tinggi-tinggi. Tapi beberapa kali pernah direnovasi hingga tampak bersih dan cerah. Ari melirik ke anak-anak yang berjalan di sekitarnya. Mereka pasti anak-anak yang pintar. Untuk masuk sekolah ini harus punya nilai di atas rata-rata. Tapi sesaat mata Ari tertambat pada sekumpulan anak perempuan yang keluar dari parkiran mobil. Mereka berjalan begitu ceria. Dan salah satu dari mereka membuat Ari harus menahan nafasnya. Itu Tata. Penampilannya berbeda. Tapi Ari yakin itu Tata. Sekarang dia lebih cantik dan modis. Ari mulai berjalan cepat tidak mau pandangannya terhalang. Berkali-kali dia berusaha meyakinkan dirinya kalau itu Tata. Sampai dia dengar suara memanggil namanya.
“Ari!” seorang anak berseragam SMU mendekatinya.
“Haki!” Ari mengenalnya. Dia temen SMP. Dan Ari tidak heran kalau dia masuk sekolah ini juga. Ibunya guru Bahasa Indonesia di sini.
“Eh lo di kelas 10-13 kan? Gue lihat nama lo di pengumuman,” tanya Haki.
“Iye. Lo?” Ari balik tanya.
“Iye, satu kelas kita. Kita sebangku ya?” pinta Haki.