Komplotan Tidak Takut Hantu

Mohamad Novianto
Chapter #9

Bab 8 : Hantu Perempuan Rambut Berjuntai-juntai

Pagi ini Ari berangkat sekolah lebih pagi. Dia tidak membonceng ibunya. Pagi-pagi sekali dia sengaja berangkat naik bus. Sampai di sekolah dia cari tempat bersembunyi dekat parkir mobil. Ari berdiri di belakang papan majalah dinding. Tidak akan ada yang melihatnya di situ dan dia leluasa melihat area parkir. Ari masih penasaran dengan Tata. Satu persatu murid-murid berdatangan. Area parkir mulai penuh. Dan satu mobil Mercy warna hitam masuk dan parkir di tempat tak jauh dari Ari. Ari tahu mobil itu. Sopirnya pun keluar membukakan pintu belakang. Ari pun kenal sopirnya. Dia yang selalu mengantar Tata ke klinik psikiatri. Saat Tata keluar dari mobil, dua murid perempuan menyambutnya. Mobil mereka mungkin terparkir di tempat lain. Mereka begitu ceria dan sepertinya sedang menunggu temannya yang lain. Hingga dua anak perempuan datang lagi dan mereka mulai berjalan meninggalkan area parkir sambil bercanda dan tertawa. Ari masih di tempatnya. Anak perempuan itu benar-benar Tata. Ari mulai berpikir Tata sekarang berubah. Karena dulu Tata begitu polos dan lembut. Mungkin karena Tata orang kaya, sekarang dia hanya mau berteman dengan anak yang kaya. Atau Tata sudah sembuh dan tidak melihat hantu lagi?

Ari keluar dari persembunyian menuju kelasnya. Dia sempat melihat anak perempuan yang duduk di bangku depannya. Anak itu keluar dari mobil BMW. Masih memakai jaket yang sama. Tudungnya dipasang di kepala. Ari melihat anak itu begitu misterius. Sampai di kelas, Haki sudah memanggil Ari. Dia ada di sudut kelas, tangannya menggenggam smartphone-nya yang disembunyikan di bawah meja.

“Gue udah edit nih, Ri,” Haki memperlihatkan ponselnya ke Ari. Hasil editan video yang Haki ambil di sekolahan kemarin.

“Ini udah di Youtube?” tanya Ari sembari serius menonton video Haki.

“Udah lah! Lihat dong subscriber-nya,” Haki menunjukkan angka subscriber-nya di akun Youtube-nya,”Lo subscribe juga dong!”

“Gue nggak punya Youtube,” jawab Ari seadanya.

Haki memasukkan ponselnya ke dalam tas karena banyak murid yang sudah mulai berdatangan di sekitar mereka.

“Ri, gambar lo kemaren keren buat dimasukkin ke mading. Gue kenal pengurus madingnya,” kata Haki beralih pembicaraan.

“Jangan Ki,” Ari langsung menyahut.

“Lho kenapa? Itu gambar keren banget. Orang pasti pada bertanya-tanya, gambar apaan nih!”

“Justru itu! Ntar orang jadi heboh,”

“Lo gimana sih Ri! Jaman sekarang orang kalau mau terkenal musti bikin heboh dulu!”

Ari masih tidak menggubris perkataan Haki. Sementara bel masuk berbunyi. Pak Riza masuk mengisi pelajaran agama di jam pertama. Ari sempat memperhatikan anak perempuan yang memakai jaket di depannya. Namanya Nara. Ari tahu dari daftar absensi. Tudung kepalanya tidak dipakai. Pertanda dia baik-baik saja. Ari perhatikan di jendela memang tidak ada apa-apa. Pak Riza mulai menjelaskan tentang Keimanan. Kita harus beriman kepada yang ghaib, yaitu percaya kepada Tuhan, Malaikat, Jin, Ruh, Hari Kebangkitan, Alam Kubur, Surga-Neraka, Setan dan yang lainnya. Lalu ada anak yang dijuluki Profesor mulai bertanya. Bukan karena anaknya genius, tapi karena dia cerewet, suka bertanya bahkan untuk hal-hal yang tidak nyambung sama pelajarannya. Anaknya kecil kurus tapi kepalanya besar dan dahinya lebar. Seperti biasa anak yang lain pun jadi pada tertawa karenanya.

“Pak, kalau setan itu kan gaib, tapi kenapa ada orang yang bisa melihat setan?” Profesor bertanya lagi. Kali ini tawa seisi kelas semakin riuh.

Pak Riza pun ikut tertawa, tetapi dia berusaha sabar,” kalau masalah itu nanti ada pembahasannya sendiri, tentang jin dan lain-lain, sekarang kita sedang bahas keimanan dulu.”

Ari suka mendengarkan pelajaran Pak Riza. Karena orangnya masih muda. Walau masih culun tapi cara ngomongnya Ari suka. Hari ini ada pelajaran dari Pak Riza yang dia catat : Ghaib bukan lawan kata dari wujud, melainkan lawan kata dari syahid atau hadir, yaitu sesuatu yang dapat ditangkap panca indera. Jadi sejatinya yang ghaib dan yang hadir adalah eksistensinya sama sama wujud atau “ada”.

 

Saat istirahat, Ari berjalan di teras kelas menuju toilet. Pagi tadi di kelas, dia tidak melihat anak perempuan melayang dengan kaki hancur. Tapi siang ini dia melihatnya. Dia ada di depan kelas lain. Dari teras, Ari melihat dia sedang melongok ke kelas itu dari lubang ventilasi. Ari sempat berhenti dan terperangah. Ternyata anak itu suka jalan-jalan dari kelas ke kelas. Sampai suara Haki mengagetkannya di belakang.

“Ada apa Ri?” Haki menepuk bahu Ari,”Lo lihat yang di gambar lo lagi?”

“Nggak! Nggak ada apa-apa kok,” kata Ari menutupi. Dia langsung jalan ke toilet.

Usai sekolah, Ari tidak langsung pulang. Hari ini dia ada kegiatan ekstrakurikuler. Ari ikut ekstrakurikuler melukis. Ari memang suka menggambar, tapi dia belum pernah melukis. Di ruang melukis, ternyata ada satu teman sekelas Ari yang ikut.

“Hai, Ari ya?” Dia menyapa duluan melihat Ari datang.

“Toha ya?” Ari membalas sembari mengulurkan tangannya. Mereka pun bersalaman. Walau sekelas mereka belum pernah ngobrol.

“Toha ini dari SMP sudah maestro melukisnya!” seorang anak di samping Toha menyela. Ari mengira dia temen SMP Toha. “Bakat keturunan dari bokapnya. Tapi bokapnya spesialis pelukis hantu. Dia paranormal terkenal…” Belum sempat anak itu melanjutkan kata-katanya, Toha sudah meninju bahunya dan melototkan matanya ke anak itu. Anak itu pun meringis kesakitan sambil tertawa berseloroh.

Lalu ada Haki masuk ke ruangan. Dia membawa gulungan kertas karton. Di sebelahnya ada sorang anak perempuan.

“Nah ini Ari yang aku ceritakan itu,” Haki mendekati Ari dan berbicara kepada anak perempan di sebelahnya. “Ri, ini Rida. Dia pengurus mading baru dari angkatan kita,” Haki memperkenalkan anak perempuan bernama Rida ke Ari. Rida mengulurkan tangannya ke Ari sembari menyebut namanya. Ari menyambutnya dan sempat terbata menyebut namanya.

“Iya, Haki bilang kamu punya gambar yang bagus-bagus untuk ditampilkan di mading,” kata Rida.

Lihat selengkapnya