Hari ini Senin. Upacara diadakan di lapangan. Ari ada di tengah-tengah barisan kelasnya. Sejak datang pagi tadi, Ari merasa banyak murid yang sedang memperhatikannya dengan tatapan aneh. Ada yang berbisik-bisik, ada yang terang-terangan nyeletuk, hoi si penggambar hantu! Dan yang aneh, gambar Ari di majalah dinding sudah tidak ada, diganti dengan naskah lain.
Pak Suman, kepala sekolah, mulai naik podium saat pidato inspektur upacara. Dia mulai berbicara tentang kehebohan yang terjadi pagi ini. Tentang murid yang membuat keresahan di sekolah.
“Saya menyesalkan adanya tindakan murid yang membuat keresahan di sekolah kita,” kata kepala sekolah di pidatonya. “Sekolah kita ini sudah damai, tenang dan kondusif untuk belajar, jangan sampai ada hal-hal semacam ini yang mengganggu proses belajar. Mengganggu murid-murid yang lain untuk berprestasi. Dan saya minta kepada murid-murid untuk tidak percaya pada hal-hal seperti ini dan tetap fokus belajar, mendulang prestasi untuk mengharumkan nama sekolah.”
Ari tahu banyak murid yang berdiri di barisan-barisan itu melirik ke arahnya. Suara pak kepala sekolah pun seolah menjadi gema yang tak jelas di telinganya. Ari hanya bisa menunduk memandangi tanah di depannya. Saat upacara selesai, Ari ingin cepat-cepat kembali ke kelasnya. Dari kerumunan murid-murid yang kembali ke kelas, beberapa masih saja curi-curi pandang ke Ari. Dan di antara mereka, di kejauhan, Ari melihat seorang murid berdiri terpaku memandanginya. Itu Tata. Tatapan itu penuh tanya. Tapi Ari justru seperti melihat kembali tatapan Tata saat dulu mereka pernah bertemu. Tapi hanya sebentar. Tata sudah beranjak pergi, berbaur dengan murid-murid yang lain. Hingga Pak Riza datang menghampirinya. Katanya dia dan Haki dipanggil ke kantor kepala sekolah.
Ari dan Haki berdiri tertunduk di depan meja kepala sekolah. Dari tadi mereka harus menerima teguran dan peringatan dari Pak Suman.
“Kalau kalian bukan anak guru di sini, saya sudah keluarkan kalian!” Pak Suman berbicara tegas dari tempat duduknya. “Saya masih memandang orang tua kalian sebagai pengajar di sini. Apa lagi kamu Ari. Bapak kamu dulu guru senior di sini. Bapak kamu itu sangat dihormati di sini. Jangan kamu bikin malu almarhum bapak kamu.”
Lalu Pak Suman bilang, Ari dan Haki masih dimaafkan. Tapi sekali lagi kalau tindakan seperti ini terulang, dia akan mengambil tindakan tegas. Ari dan Haki pun keluar dari kantor kepala sekolah. Saat melewati ruang guru, Pak Solidin, guru agama senior, memanggil Ari.
“Kamu Ari ya?” tanya Pak Solidin saat Ari sudah menghadap di depannya.
“Iya Pak,” jawab Ari setengah tertunduk.
“Kamu muridnya Pak Riza?”
“Iya Pak.”
Lalu Pak Solidin memanggil Pak Riza yang mejanya tak jauh dari situ.
“Pak Riza, tolong Ari ini diberikan pengertian yang bener. Kalau perlu anak ini musti dirukiyah,” kata Pak Solidin saat Pak Riza menghadap. “Kamu nanti sehabis sekolah menghadap ke Pak Riza!”Pak solidin memerintahkan Ari. “Pak Riza ini masih muda, tapi pengalamannya banyak, dia lama di pondok. Kamu camkan nanti wejangan yang diberikan ke kamu dan kamu laksanakan.”
Ari mengiyakan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dia tidak punya pilihan lain selain menerima konsekuensi apa saja yang akan dia terima. Lalu Ari keluar ruang guru menuju kelasnya. Tapi sebelum sampai di kelas, Rida dengan jalan tergesa, menghampirinya.
“Ari ini aku kembalikan gambarmu. Redaksi tidak mau gambarmu ada di mading. Salah aku sih, aku tidak ijin mereka waktu tayangin,” Rida menyerahkan gambar Ari yang anak perempuan kaki hancur dan perempuan di pohon beringin. Ari menerimanya dengan perasaan ikut menyesal. Lebih-lebih mata Rida mulai berlinang.
“Kamu nggak apa-apa kan Rida?” tanya Ari dengan perasaan khawatir.