Pagi ini Ari masuk ke gerbang sekolah ditemani Toha. Toha tahu cara masuk ke kelas tanpa diketahui anak-anak basket. Dari lapangan basket mereka akan langsung ke belakang kantin lewat lahan kosong, lalu lewat belakang rumah penjaga sekolah. Kebetulan Toha sedikit banyak kenal pak penjaga sekolah. Lalu mereka bisa menuju kelas lewat belakang.
“Permisi Pak Min, numpang lewat ya,” Toha menyapa penjaga sekolah saat lewat belakang rumahnya.
“Toha, tumben pagi banget,” tanya penjaga sekolah.
“Iya Pak Min, takut telat,” jawab Toha basa-basi.
“Itu temen kamu yang nggambar si Sinta ya?” tanya penjaga sekolah lagi sambil menunjuk Ari.
“Bukan Pak Min, bukan dia,” jawab Toha sambil lalu.
Setelah melewati area septitank akhirnya mereka sampai di kelas. Jam pertama ada pelajaran Pak Riza. Kali ini Pak Riza mengajar tentang Jin, yang tidak nyambung dengan pelajaran yang diajarkan sebelumnya. Sepertinya Pak Riza mengambil tema ini karena berkaitan dengan kejadian akhir-akhir ini di sekolah. Berkali-kali pandangan Pak Riza mengarah ke Ari, memastikan anak itu mencamkan apa yang dia sampaikan. Dia sampaikan ke murid-murid bahwa jin dan manusia diciptakan tidak lain untuk menyembah kepada Sang Pencipta. Jin diciptakan dari api dan manusia diciptakan dari tanah.
“Seperti halnya manusia, jin juga menikah, beranak pinak, makan, minum, istirahat,”Pak Riza menerangkan,”Rupa, wajah, bentuk tubuh dan tempat tinggalnya pun bermacam-macam.”
Semua murid terpaku di meja masing-masing. Bahkan Profesor yang biasa bikin tertawa dengan pertanyaan aneh-anehnya, sekarang tampak tegang. Pak Riza pun melihat gelagat anak-anak asuhnya. Lalu dia berpesan bahwa mereka tidak perlu takut pada Jin. Takut hanya kepada Sang Maha Pencipta.
Tapi di tengah Pak Riza menerangkan, Ari mendapat perasaan itu lagi. Lalu ada suara dari arah teras kelas. Suara kaki kuda yang makin lama makin dekat. Nara yang duduk di depan menoleh ke Ari. Dia seperti sedang kedinginan. Ari pun menoleh ke arah Toha dan Wira. Mereka juga mendengar suara itu. Tapi walau suara itu begitu jelas lewat di depan kelas, mereka tidak melihat apa-apa. Sampai Pak Riza melihat gelagat Ari. Ari pun berusaha terlihat sedang memperhatikan pelajaran.
Saat jam istirahat, Ari, Toha, Wira dan Nara sepakat menjalankan rencana mereka. Mereka akan masuk ke ruang bekas ekstrakulikuler drama. Mereka berharap akan bertemu Awuk. Nara sudah menenteng kameranya. Mereka berempat berusaha bersikap sewajar mungkin berbaur dengan murid-murid lainnya yang sedang istirahat. Sampai di tangga, mereka naik ke lantai 3. Lorong lantai 3 sepi tidak ada siapa-siapa. Tidak ada murid yang berani ke situ kecuali beramai-ramai jika sedang mengambil sesuatu di ruang-ruang penyimpanan. Dan di ruang paling pojok, ada satu-satunya pintu yang tidak digembok. Pintu yang sudah lama tidak pernah dibuka, kecuali oleh Ari kemarin. Dan Ari sudah ada di depannya. Beberapa saat dia terpaku sebelum memegang gagang pintunya. Karena perasaan itu datang. Dia merasa Awuk sudah ada di dalam, di balik pintu. Nara di belakang Ari mulai memakai tudung jaketnya. Dia mulai kedinginan. Toha dan Wira terlihat tegang. Ari pun memegang gagang pintu, tapi dia tidak juga membuka pintunya. Karena dia mendengar suara anak perempuan berbisik. Yang jelas bukan Nara. Nara sedang tegang tak bersuara menahan dingin. Ari berusaha mendengar bisikan itu lagi.
“Ada apa Ri?” tanya Toha.
Ari masih diam. Toha pun tidak bertanya lagi.
“Awuk tidak ingin kalian bertiga masuk ke dalam,” Ari bersuara.
“Lalu?” tanya Toha lagi.
“Dia cuma mau bicara sama gue,” kata Ari.
“Lo yakin akan masuk sendirian,” tanya Wira.
Agak ragu Ari mengangguk.
“Kalian tunggu di luar,” kata Ari. Dia melihat wajah khawatir teman-temannya. Tapi dia tekadkan untuk membuka pintu itu dan masuk ke dalam.
Di dalam gelap dan pengap. Ari harus membiasakan matanya berada di tempat gelap. Dalam remang Ari bisa melihat banyak bekas properti pertunjukan drama yang bergeletakan hampir di seluruh ruang. Tapi Ari tidak melihat Awuk. Dia cuma merasa Awuk berada sangat dekat. Beberapa saat Ari masih berdiri di dekat pintu tapi Awuk belum juga muncul.
Sementara di luar, Toha, Wira dan Nara berdiri cemas di depan pintu. Lalu terdengar langkah-langkah orang di tangga sedang menuju lantai 3. Ternyata anak-anak basket. Jodi ada disana bersama 4 anak lainnya. Mereka berjalan cepat ke arah Toha, Wira dan Nara.
“Mana si penggambar hantu?” tanya Jodi dengan nada galak.
“Kita nggak ngelihat,” jawab Toha.
“Jangan bohong lo, kalian anak-anak kelas 7-13 kan?” Tanya Jodi lagi, kali ini nadanya melecehkan.
Wira pun maju ke depan,” kita lagi ada tugas fotografi,”kata Wira. “Tadi sih anaknya ada, mungkin dia di lantai 2 kali.”
Jodi pun melihat Nara yang menenteng kamera. Lalu mereka berniat beranjak dari situ. Tapi dari tangga muncul kepala sekolah bersama 2 tamunya.
“Ada apa ini kalian pada di sini?” tanya kepala sekolah pada murid-murid yang ada di situ.
Anak-anak basket kelabakan tidak bisa menjawab.
“Lagi bikin tugas buat fotografi Pak,” Wira bersuara.
“Ayo jangan di sini. Istirahat jangan di sini!” Kepala sekolah memerintahkan mereka pergi dari situ.
Anak-anak basket pun berlarian turun tangga. Toha, Wira dan Nara berjalan meninggalkan tempat itu. Mereka sempat memandangi pintu ruang bekas ekstrakulikuler drama. Ari masih di dalam sana. Sementara kepala sekolah masih berbicara dengan 2 tamunya.
Ari masih tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dari tadi dia dengar situasi di luar. Dia masih dengar suara kepala sekolah dan tamunya. Mungkin karena itu Awuk tak kunjung muncul. Tak berapa lama, suara kepala sekolah tak terdengar lagi. Ari berharap Awuk segera muncul. Was-was dia menunggu dalam gelap sampai bel masuk berbunyi. Ari bingung. Dia sudah berniat untuk keluar dari tempat itu. Tapi saat membalikkan badan, dia merasa Awuk ada di belakangnya. Ari pun ragu. Tangannya sudah memegang gagang pintu.
“Aku takut…” Suara anak perempuan berbisik terdengar di belakang Ari.
Ari pun membalikkan badan. Melihat Awuk di balutan suasana remang. Ari lega, Awuk berwujud anak perempuan yang cantik. Kakinya tidak hancur.