Komplotan Tidak Takut Hantu

Mohamad Novianto
Chapter #17

Bab 16 : Orang-orang Berbaju Putih

Malam ini Ari rebah di kasur lebih cepat dari biasanya. Kepalanya masih sedikit pusing. Tapi dia lega. Tadi siang dia sudah menyelamatkan Tata. Seperti hutang yang telah terbayar. Karena belum lama dia sadari, dia pernah melupakan Tata. Saat dia kehilangan bapaknya. Lalu ibu Ari masuk ke kamar. Dia duduk di samping Ari.

“Maafin mama ya Ri, selama ini mama tidak peduli dengan keadaan kamu,” kata ibu Ari dengan wajah menyesal.

“Nggak apa-apa Ma,” jawab Ari yang iba melihat ibunya. Dia tahu, situasi bertambah sulit ketika ibunya ditinggal bapaknya.

“Teman-teman kamu yang kemarin, dia juga seperti kamu? Maksud mama…”

“Iya Ma, makanya kita sengaja datang terlambat.”

“Kakek kamu dulu juga seperti kamu.”

“Papanya mama?”

“Iya.”

“Ari nggak pernah lihat.”

“Dia suka pergi ke gunung-gunung. Lama-lama keseringan. Nenek kamu nggak suka. Waktu mama merit sama papa kamu, dia nggak dateng. Lalu dia nggak pernah balik lagi. Orang bilang dia hilang di Gunung Lawu. Tapi waktu mama hamil kamu, beberapa kali mama lihat dia di rumah ini. Makanya waktu itu mama minta papa cepat-cepat punya rumah sendiri.”

“Kakek orangnya kayak gimana?”

“Dia sebenarnya baik. Suka nolongin orang. Waktu pacaran, papa kamu nggak begitu suka sama kakek. Tapi kakek tetap menerima dia. Papa kamu orangnya kan logis banget. Dia nggak suka mistis-mistis. Dia selalu bangga jadi guru fisika.”

“Papa meninggalnya bagaimana Ma?”

Seketika itu ibu Ari terdiam. Sesuatu tertahan di pikirannya. Baru sekali-kalinya Ari menanyakan hal ini ke ibunya. Dan Ari menyesal. Tapi Ari masih penasaran. Apalagi kalau ingat sosok perempuan lidah menjulur yang waktu itu keluar masuk kamar orang tuanya.

“Papa sakit apa Ma?”Ari mencoba bertanya lagi.

“Sudahlah Ri, yang sudah ya sudah. Apapun yang sudah terjadi, kamu harus ikhlasin papa kamu ya,” jawab ibu Ari dengan suara sedikit berat.

Ari mengangguk. Tapi dia tetap belum bisa terima. Sosok perempuan lidah menjulur tak akan pernah hilang dari ingatannya. Ibu Ari beranjak dari tempat tidur, mengelus kepala anaknya dan berjalan menuju pintu.

“Yang di sumur itu memang ada?” tanya ibu Ari sebelum keluar kamar. Tampaknya ada yang masih mengganjal di pikirannya.

“Ada Ma. Tapi mama jangan takut. Mereka nggak jahat. Nggak kayak yang di sekolahan,” jawab Ari polos.

Ibu Ari mengangguk-angguk, berusaha untuk mengerti. Lalu dia keluar dan menutup pintu. Tinggal Ari sendiri. Kantuk sudah menggelayuti matanya. Sampai dia dengar suara notifikasi dari ponselnya di meja. Dengan malas Ari mengambil ponselnya. Tapi setelah lihat lihat layar ponselnya, mata Ari terasa terang kembali. Kantuknya seketika hilang. Ada pesan dari Tata di ponselnya. Cepat-cepat dia buka pesan itu.

‘Ari terimakasih sudah menyelamatkan aku. Tapi janji ya jangan bilang ke siapa-siapa tentang aku. Biarkan aku jadi seperti yang sekarang ini. Selamat tidur. Sweet dream.’

Lama Ari memandangi ponselnya. Lalu dia mencoba membalas pesan Tata.

‘Tata maafin aku ya pernah melupakan kamu. Waktu itu papaku meninggal. Sampai sekarang aku nggak tahu meninggalnya kenapa. Jangan khawatir Tata, rahasia kamu aman. Kalau ada apa-apa hubungi aku. Selamat tidur juga. Sweet dream.’

Lalu Ari meletakkan lagi ponselnya di meja. Tapi saat dia hendak beranjak ke tempat tidur, ponselnya bunyi. Ternyata dari Nara.

“Halo,” Ari menjawab ponselnya.

“Halo Ri, belom tidur lo,” jawab Nara di ponsel Ari.

“Belom, kenapa Ra?”     

“Ri, barusan mama gue telpon dari Amerika. Dia dapat kabar dari kakek gue, kalau Pak Suman minta tolong ke kakek untuk mendatangkan orang-orang yang dulu pernah membersihkan sekolah.”

“Orang-orang berbaju putih?”

“Iya, katanya besok mereka akan datang ke sekolahan.”

Lalu Ari teringat Awuk.

“Besok gue mau ke sekolahan,” kata Ari.

“Besok kan libur,” jawab Nara.

“Gue bisa lompat pagar.”

“Gue ikut. Ntar gue kabarin Toha sama Wira.”

“Nggak usah. Gue aja yang ke sana.”

“Ri, kita ini satu komplotan, gimana kalau lo pingsan lagi dan nggak ada yang nemuin lo?”

“Ok, kalau gitu besok pagi kita ketemu di pagar.”

“Ok.”

Esok pagi Ari sudah ada di depan pagar sekolah. Tak berapa lama, Nara sampai di sana juga. Sudah 5 menit menunggu Toha dan Wira, mereka belum datang juga. Nara pun mencoba menghubungi mereka dari ponselnya. Sementara di gerbang, 3 mobil minibus terlihat masuk ke halaman sekolah. Sampai di tempat parkir, beberapa orang keluar dari mobil-mobil itu. Mereka semua berbaju putih.

Lihat selengkapnya