Hari ini pelajaran menggambar diadakan di luar kelas. Untuk meningkatkan apresiasi pada bangunan bersejarah, murid-murid disuruh menggambar gedung sekolah mereka. Ari, Toha, Wira dan Nara memilih menggambar di halaman depan. Mereka duduk di bawah pohon beringin. Sekarang tidak ada perasaan takut lagi berada di dekat pohon besar yang banyak sulurnya itu. Sebelumnya Wira sudah booking Toha untuk dibuatkan gambarnya. Begitu juga Nara, dia sudah booking Ari.
“Bikinin sketsa kasarnya aja,” kata Wira ke Toha. “Ntar gue terusin sendiri finishingnya.”
Toha mengangguk dan mulai membuat gambar pesanan Wira.
“Kalau aku sekalian arsirannya juga dong Ri,” Nara memohon ke Ari. “Tapi jangan dibuat bagus-bagus, ntar ketahuan lagi.”
“Tenang… nggak akan ketahuan kok,” kata Ari sembari mulai menggerakkan pensilnya di kertas punya Nara.
Di tengah kegiatan mereka, tiba-tiba Nara merasa kedinginan. Dia mulai merapatkan jaketnya. Ari, Toha dan Wira sudah mengerti dengan gelagat Nara. Hampir bersamaan mereka bertiga melirik ke atas. Was-was jika ada sesuatu akan mereka lihat di antara ranting-ranting pohon beringin. Tapi mereka tidak melihat apa-apa di pohon itu. Nara pun mulai melirik ke arah pagar halaman sekolah. Di trotoar depan sekolah, beberapa orang berjalan lalu lalang. Tetapi mereka bisa lihat, ada satu yang berkali-kali bolak-balik. Sesekali berhenti, seperti ingin masuk ke halaman sekolah. Dia laki-laki, memakai jas, rambutnya awut-awutan dan hampir setengah wajahnya hancur.
“Dia melihat ke sini,” desis Toha.
“Bagaimana kalau dia masuk ke sini?” kata Nara. Dia sudah siap beranjak.
Tapi Ari malah serius memperhatikan sosok yang kini berdiri di tengah orang sedang berjalan di trotoar.
“Dia nggak melihat ke kita,” kata Ari mengamati dengan seksama. “Dia melihat ke atas kita, ke pohon beringin.”
Lalu Ari mengambil selembar kertas dan mulai menggambar sosok itu.
“Iseng banget sih lo Ri,” kata Nara. Dia tidak jadi beranjak.
Ari terus menggambar. Ketiga temannya pun memperhatikannya.