Keesokan harinya, di taman, Nara memberikan foto yang diambil ibunya 12 tahun yang lalu ke Ari. Di sana sudah ada Toha dan Wira. Mereka pun mengamati foto di tangan Ari. Foto sebuah gambar denah salah satu area bangunan sekolah mereka yang kertasnya sudah terlihat buram dan menguning. Nara menunjukkan posisi ruangan bawah tanah.
“Ini basement-nya,” Nara menjelaskan. “Kalian lihat, ada gambar lorong dari sini ke arah sana.”
Ari, Toha dan Wira berusaha melekatkan pandangannya ke foto itu. Karena gambar denah yang tertangkap di foto begitu kecil. Mereka lihat denah basement yang ditunjuk Nara. Tapi mereka masih meraba-raba gambar lorong yang dibilang Nara. Memang ada gambar garis yang terhubungkan dengan gambar basement tapi tak begitu jelas. Saat mereka sibuk mengamati foto, tiba-tiba terdengar suara orang menangis. Ari, Toha dan Wira spontan memandang Nara. Karena suara tadi adalah suara perempuan.
“Kenapa?” tanya Nara bingung dipandangi ketiga teman cowoknya.
“Kamu nggak denger?” tanya Wira.
“Denger apa?” Nara tanya balik.
Saat masih pada kebingungan, hampir bersamaan mereka perlahan menengok ke balakang. Karena mereka mendengar lagi suara orang menangis. Suara itu suara perempuan dari belakang mereka. Di belakang mereka ada kolam dengan pancuran kecil di tengah taman. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Dan Nara sudah mulai menyilangkan tangannya.
“Ayo kita pergi dari sini,” ajak Wira.
Mereka berempat pun melangkah pergi meninggalkan taman. Ari sempat melihat lagi ke arah kolam. Tapi tetap dia tidak melihat apa-apa.
Sudah seminggu ini Ari masih penasaran dengan kucing bermata aneh di aula. Diam-diam dia selalu mengecek aula sekolahnya. Tapi selama seminggu ini pula dia tidak pernah bertemu kucing itu lagi. Toha, Wira dan Nara pun sudah tidak menyinggungnya lagi. Murid-murid sudah disibukkan dengan persiapan Ujian Tengah Semester yang sudah dekat. Dan hari ini adalah hari ulang tahun Ari. Yang berarti juga hari ulang tahun Tata.
“Ayo traktir kita dong Ri,” pinta Nara saat istirahat.
“Siiip, tenang aja. Beli bakwan di kantin ya,” kata Ari bercanda. Dia tahu temannya juga tidak serius. Mereka tahu Ari bukan anak yang banyak duit.
“Kita rayain di kafe kakakku aja,” Wira mengusulkan. “Gratis deh, boleh makan sesukanya.
“Thanks Wir. Nggak usah repot-repot,” kata Ari. Dia merasa nggak enak.
“Gue serius!” kata Wira.
“Ayo dong Ri. Jangan nolak rejeki,” timpal Toha sambil nyengir. Dia memang ngebet bisa makan gratis. “Maksud gue, gue juga nggak nolak rejeki.”
“Iya Ri. Ayo dong,” giliran Nara yang menimpali. “Yang penting kita bisa seru-seruan.”
Akhirnya Ari mengalah. Mereka pun pergi ke kafe kakaknya Wira sepulang sekolah. Dan seumur hidup Ari, baru kali ini dia merasakan punya teman yang benar-benar teman. Bukan hanya karena mereka sama-sama bisa melihat hantu. Lalu Ari jadi ingat Tata. Hingga saat ngobrol, Ari sampai bilang kalau Tata tanggal lahirnya sama kayak dia.
“Beneran lo Ri?” tanya Toha sembari mengunyah makanan.
“Beneran,” jawab Ari.
“Kayak anak kembar dong kalian,” timpal Wira.
“Eh, ngomong-ngomong tentang Tata, aku jadi ingat tadi pagi aku lewat di depan mobilnya,” kata Nara dengan nada serius. “Dia punya saudara perempuan nggak sih Ri? Kayaknya ada cewek di dalam mobilnya. Nggak mungkin mamanya, soalnya tampangnya masih muda.”
“Tata nggak punya saudara,” jawab Ari. “Dia anak tunggal.”
“Iya, aku lihat dia lagi sendiri di dalam mobil. Kayaknya tuh dia lagi nyiumin parfum di dashboard,”kata Nara lagi.
Ari jadi penasaran. Suasana jadi serius.
“Eh, kalian mau kopi kan?” kata Wira memecah suasana.