Komsi Komsa

Falcon Publishing
Chapter #1

BAB I - Part 1

SAIPAN 1953

Pulau itu terletak pada posisi paling utara dari gugus Kepulauan Mariana. Di ujung utara pulau itu belantara hutan dan terjal jurang menyelimuti bangunan-bangunan suram dan sebuah lapangan udara yang jauh dari kebisingan.

Saipan hanyalah titik kecil di tengah Samudra Pasifik. Apabila peta dunia dihamparkan, pulau itu nyaris tidak ada. Ya, tidak ada yang mengingatnya setelah pertempuran biadab di ujung Perang Dunia Kedua. Atau ada yang coba mengingatnya samar mengikuti gosip bahwa Amelia Earhart, petualang perempuan pemberani itu, konon hilang bersama pesawatnya di atas pulau ini.

Dia berjalan mengikuti kehendak hati. Mendaki tebing curam, menembus lebatnya pepohonan perdu. Pancaran surya berpendar merah tidak dipedulikannya. Dia melangkah semakin cepat seakan-akan mengejar tujuan yang tidak hendak menunggunya. Sesal dan kesal telah menggunung jadi putus asa. Saat tiba di tujuan dia menarik napas dalam-dalam. Tebing curam setinggi 250 meter menagih tekadnya.

Sebelum kebiadaban perang merenggut keindahannya, tebing itu diberi nama Laderan Banadero. Tetapi setelah ribuan serdadu Jepang termasuk penduduk sipil, perempuan, dan anak-anak melompati jurang itu demi menghindari tentara Amerika pada tahun 1944, nama itu perlahan dilupakan. Orang-orang Jepang dengan segala ilusi mereka tentang keabadian Sang Kaisar menyebutnya Banzai Cliff. Sementara penguasa baru pulau itu, Angkatan Laut Amerika, dengan sinis menamai tebing itu Suicide Cliff.

Dia memejamkan mata. Membayangkan nun jauh di barat daya horizon sirna. Dunia jadi padang datar dengan Laderan Banadero sebagai puncak tertingginya. Dia bisa lepas memandang tanah air yang jauhnya ribuan kilometer dari pulau terkutuk ini. Lalu dia terbang melayang disambut jutaan tangan yang menginginkan hidupnya memberi arti pada mereka. Dia akan pulang. Memenuhi harapan orang-orang yang mengirimnya.

Saat matanya terbuka, horizon itu masih ada. Melingkupi angannya hanya sebatas pulau. Sebuah pesawat angkut militer muncul dari balik laut. Dengung pesawat itu terus mendekat. Terbang merendah. Meliuk anggun satu putaran. Pesawat itu kemudian mendarat di Marpi Point Field. Pangkalan udara milik Angkatan Laut Amerika yang menghampar antara Suicide Cliff dan Samudra Pasifik.

Di pangkalan udara itulah harapannya ditikam oleh kenyataan. Sekarang dia akan jadi manusia Indonesia pertama yang tewas di Pulau Saipan. Fakta yang akan dia nikmati selama sekian detik sebelum tubuh menghunjam batu karang. Sementara sejarah tentu tidak akan memberi tempat untuknya.

Baru dua minggu yang lalu dia tiba di pulau ini lewat sebuah penerbangan estafet rahasia. Pertama dia diterbangkan ke Bali. Dari Bali pesawat membawanya ke pangkalan Amerika di Subic, Filipina. Pesawat sempat singgah di Makassar tetapi dia tidak sempat turun. Dari Subic penerbangan panjang menuju Guam.

Dan setelah kelelahan di udara yang teramat sangat, penerbangan pendek dari Guam mengantarkannya ke ujung utara Pulau Saipan. Sebuah fasilitas milik Angkatan Laut Amerika, Naval Technical Training Unit, jadi tempat hidupnya untuk beberapa bulan ke depan.

Sayangnya sebelum pendidikan dimulai, dia dinyatakan gagal karena ijazah palsu. Tentu saja palsu karena dia tidak pernah menamatkan pendidikan apa pun pada zaman Belanda, Jepang, atau revolusi kemerdekaan. Celakanya, bukan dia yang memalsukan melainkan orang- orang di Jakarta. Seharusnya tidak jadi masalah karena ada Ndoro, orang kuat yang menjaminnya di Jakarta. Rupanya katebelece itu tidak berlaku di Saipan.

Dia satu-satunya yang gagal dalam dua kali pengiriman. Delapan belas orang lainnya tidak mau peduli, sejak awal mereka sudah memandangnya sebelah mata. Sementara mereka sibuk latihan fisik dengan berlari mendaki Army Hill, dia mulai mengepaki barang-barangnya.

Ke mana dia akan pulang? Sementara pulau ini tidak lagi menghendaki dirinya. Dia tidak akan sanggup menegakkan muka ketika menghadapi Ndoro itu lantas menyatakan diri gagal. Seribu alasan bisa dikemukakan tetapi kebenaran tetap akan membunuh cahaya hidup orang tua itu. Maka, yang terbaik adalah menjadi tiada. Agar tiada beban harus dipikul sepanjang usia. Biarkan ini jadi urusannya dengan Sang Pencipta.

Dia memejamkan mata lagi. Tubuhnya sudah dimiringkan ke tubir jurang. Beberapa detik lagi dia akan melayang jatuh mencumbu karang. Angin laut bersiap mengiringi kepergiannya.

“Sam…”

Suara itu terdengar sangat jauh. Halusinasi sempurna sebelum sesosok tangan menjangkau pundaknya. Dia membuka mata, urung melompat. Pemuda bernama Sam ini sebenarnya tidak berniat mati, dia hanya ingin mencari kesempatan kedua.

“Dok…,” ujarnya pendek.

Laki-laki kulit putih paruh baya itu melepaskan cengkeramannya di pundak. Dia mencari bidang datar di tubir jurang lalu menghenyakkan tubuhnya. Dia memberi ruang untuk Sam duduk di sampingnya. Selama beberapa saat keduanya terjebak dalam keheningan.

Dokter Ted Williams, laki-laki ramah dengan muka cerah itu menjadi orang asing di Saipan. Tubuhnya tinggi sedikit berisi dengan kumis tipis berpotongan rapi. Bukan tugas dari Amerika yang membawanya ke sini melainkan pekerjaan mulia dari WHO dalam penelitian penyakit tropis di Kepulauan Pasifik.

Sebelum divonis gagal mengikuti pendidikan, Sam sempat pelesiran mengelilingi Saipan. Pulau ini nyaris kosong setelah luluh lantak oleh Perang Pasifik. Baru beberapa tahun belakangan orang-orang Comorro membangun kampung-kampung yang jadi persinggahan sementara. Sam bertemu dengan Ted Williams di Kampung Susupe ketika dia mengambil sampel darah nelayan yang menetap di sana.

“Saya gagal, Dok,” ucap Sam.

“Pekerjaan ini memang tidak cocok untukmu. Tetapi ini bukan akhir dari segalanya. Kau punya potensi yang mungkin jauh lebih berguna untuk bangsamu.”

“Dok?” Sam menatap tidak percaya.

“Apa yang bisa kaulakukan kalau balik ke Jakarta? Atau kau sebaliknya segera melompat ke dasar jurang?”

“Memangnya saya ada pilihan, Dok?”

Ted Williams menyenangi Sam. Dia berbeda dengan pemuda-pemuda lain yang tinggal di NTTU. Terlalu serius memikirkan masa depan tidak sempat mengenal pulau tempat mereka bermukim. Sam, selalu punya alasan untuk meninggalkan barak dan berbincang tiada putus dengannya. Dokter ini sadar, ada potensi lebih besar dari pemuda ini.

“Bangsamu jauh lebih membutuhkan kaum intelektual, Sam.”

Lihat selengkapnya