Komsi Komsa

Falcon Publishing
Chapter #2

BAB I - Part 2

Di sepanjang Pesisir Barat California, mungkin hanya satu orang yang berhasil mengeksploitasi McCarthyisme jadi keberuntungan pemula yaitu Sam. Gagasannya untuk jadi Amerika sejati jadi jualan para profesor dan pengajar untuk menunjukkan peran kuat mereka dalam membentengi dunia dari pengaruh komunisme. Asia Tenggara rentan jatuh ke tangan komunis. Sekarang, dengan kehadiran Sam, nilai-nilai kapitalisme Amerika bisa dibenamkan ke benak pemuda dari Asia Tenggara ini. Siapa pun yang menyentuh pemuda ini akan mendapatkan kredit tambahan patriotisme Amerika.

Sam cepat menyesuaikan diri. Tahu dirinya berharga, dia memasang harga tinggi. Profesor-profesor yang ingin mendapatkan testimoninya harus mau berdamai. Dia tidak perlu masuk kelas setiap hari. Ujian tidak akan jadi rintangan karena jaminan nilai minimal B. Dia bebas berkeliaran di kelas mana pun yang dia senangi. Atau bisa jadi dia berhari-hari menghilang dari kampus. Saat kembali para profesor menyambutnya dengan tangan terbuka dan ucapan selamat karena dia mendapatkan nilai bagus tanpa ujian.

Banyak yang ingin berteman dengannya, tetapi dia tidak berminat menjalin persahabatan. Mahasiswa adalah spesies purba yang punya ketakutan tidak beralasan terhadap masa depan. Ada yang cukup dekat dengannya, Alden, pemuda kampungan dari Louisiana yang fasih berbahasa Prancis. Sebelum bertemu dengan Sam, anak kampung itu yakin, Asia adalah negara yang terletak di Benua India, bukan sebaliknya.

Alden bergabung dengan program ROTC di UCLA, harapannya kelak jika kehidupan sipil membingungkan dia bisa jadi perwira Angkatan Darat Amerika. Beberapa kali Sam diminta berbicara di kelas-kelas ROTC. Pengalamannya di zaman perang melawan Belanda selalu jadi topik yang menarik. Lama-lama Sam bosan dengan bocah-bocah ROTC, dia menjauhkan diri dari Alden dan spesies sejenis.

Amerika benar-benar jadi negeri yang ramah untuknya. Banyak tawaran datang dari para pengajar dan staf universitas agar Sam tinggal di rumah mereka. Ada pula tawaran dari asrama-asrama kampus yang memintanya khusus tinggal tanpa biaya. Bahkan ada yang menawarkan apartemen yang biasanya diperuntukkan bagi veteran yang sudah berkeluarga untuk ditempatinya. Sam setia dengan kamar nomor 203 di Hotel Del Capri. Soal tagihan hotel tak jadi persoalan, para penjilat McCarthy membereskannya.

Hello, Sam....”

Sapaan manja itu keluar dari mulut belasan mahasiswi kulit putih. Mereka ingin dekat dengan Sam. Lebih mudah mendapatkan nilai bagus dengan menjadi teman istimewa Sam dari pada berkencan dengan dosen. Dari sekian banyak kencan singkatnya dengan mahasiswi yang jumlahnya belum seberapa ditambah dengan beberapa pegawai administrasi dan pelayan-pelayan restoran, tidak seorang pun yang memikat hatinya. Tubuh- tubuh kulit putih penuh kehambaran.

Jelang pergantian tahun ketika liburan musim dingin menghiasi Amerika, dia dilanda kebosanan sangat. Dia telah menjelajahi semua sudut negara bagian ini. Memperalat seisi universitas atas nama McCarthyisme. Mengencani semua gadis yang mengidamkan laki-laki Asia dengan tinggi rata-rata kulit putih. Dan tentu saja dia mendapatkan nilai bagus untuk semua mata kuliah kecuali untuk mata kuliah Evolution of Economic Institutions in America. Dia mendapat nilai B minus untuk kuliah yang diajar oleh Profesor Warren C. Scoville. Sebabnya dia tidak pernah sekalipun masuk kelas.

Saat rasa bosan menguasai dirinya, tiba-tiba Sam menemukan alasan untuk memulai petualangan baru di Los Angeles.

***

Lelaki itu berjemur tanpa kenal waktu. Usianya kira-kira 55 tahun. Tubuh tidak terlalu tinggi dengan perut buncit. Wajahnya putih kemerah-merahan. Cahaya matahari tidak pernah cukup untuknya. Sepanjang siang dia selalu berjemur di pinggir kolam renang Hotel Del Capri, tanpa sekalipun tubuhnya menyentuh kolam.

Pakaiannya selalu sama, celana katun pendek tanpa baju. Dia memulai harinya dengan berjalan mengelilingi kolam renang. Lalu dia akan duduk di kursi putih yang pinggirannya mulai mengelupas. Dia mulai membaca koran. Tidak sampai separuh halaman, sebotol wiski pesanannya diantarkan pelayan. Seloki demi seloki alkohol menyiram tenggorokannya. Satu jam kemudian, pesawat telepon di bar dekat kolam renang berdering, pelayan yang sama akan menarik kabel telepon membawanya pada Si Buncit.

Sambil bermalas-malasan, dia bicara di telepon dengan suara kencang. Aksen Skotlandia-nya yang kental tidak membuat laki-laki itu sadar diri kalau sekarang dia melancong di negeri orang. Ketika sore hari kolam renang mulai ramai oleh tamu-tamu lain, dia segera menghabiskan wiski. Atau jika masih ada sisa, dia meminta pelayan menyimpannya.

Dia bangkit tegak sempurna, alkohol tidak bisa berbuat banyak pada laki-laki yang sudah terbiasa meminumnya. Saat matahari tenggelam, dia sudah berpakaian jas rapi lengkap dengan tongkat dari kayu mahoni. Dia tidak pernah makan malam di Del Capri tetapi pagi-pagi sekali, dia yang pertama sarapan di restoran hotel.

Laki-laki itu mampu menikam bosan. Sam cemburu melihatnya. Selama seminggu dia terus mengamati laki-laki itu. Melakukan rutinitas serupa tanpa jeda. Dia punya tingkat kedisiplinan tinggi dalam menikmati usia pensiun. Sam tidak bisa menahan diri. Pada hari kedelapan, dia luangkan waktu sesiangan, menunggu laki-laki itu berjemur di pinggir kolam renang. Saat koran di tangannya mengembang, Sam mendekatinya.

“Ehm…. Halo….”

Si Buncit tidak mengacuhkannya. Dia terus membaca koran, membalik halaman demi halaman. Lalu pelayan datang membawa sebotol wiski. Sam menahan diri. Saat pelayan berbalik badan, laki-laki itu menurunkan korannya lalu berseru pada pelayan, “Tolong gelas satu lagi.”

Dia menuangkan minuman ke dua gelas. Tatapannya memaksa Sam untuk memungut minuman. Laki-laki itu mengangkat gelas tinggi-tinggi dengan gaya berkelas. Sam mengikutinya. Dentingan gelas wiski membuka pembicaraan mereka.

“Malay?” tanya Si Buncit.

“Ya Melayu. Tapi bukan Malaya,” balas Sam mengerti maksud laki-laki yang cepat mengenal aksen itu, “Java.”

Ouch… Nederland Indie.

“Indonesia sekarang.”

Whatever.

Si Buncit kembali bersikap tidak peduli. Dia menenggak dua seloki kemudian memalingkan muka lagi ke koran.

Scottish?” Sam balik bertanya.

Who cares….

Sam mengulum senyum. Si Buncit ini jenis laki-laki yang terlalu menghargai diri sendiri. Dia berharap orang lain akan segera menaruh hormat atau buru-buru pergi meninggalkannya.

“Yah, siapa yang peduli. Dunia hanya kenal Britania Raya.” Sam sudah terbiasa menghadapi manusia jenis ini, untung dia sering membaca koran “Kalian orang Skotlandia, mati-matian memamerkan aksen kalian, demi mengingatkan dunia bahwa Skotlandia itu ada. Tetapi dunia tidak peduli. Bahkan setelah India merdeka, bayang masa depan kalian pasti masih di bawah Britania Raya.”

Sam menuangkan wiski, lalu meneguknya puas. Si Buncit meletakkan korannya. Tatapannya seperti pemburu yang baru saja dipecundangi mangsa.

Comme ci comme ca begitu kata orang Prancis, Boy.”

“Komsi komsa?”

So-so. Begitu-begitu saja, Boy. Mau merdeka mau dijajah sama saja.” Dia mengulurkan tangan lalu menjabat tangan Sam erat-erat. Kesombongannya luruh oleh pidato singkat anak muda yang paham benar betapa harga diri orang Skotlandia tidak ada artinya di dunia ini.

“Angus.” Si Buncit mengenalkan diri.

“Sam.”

Sarkasme dialiri wiski berujung pembicaraan yang mengalir tanpa henti. Angus seorang pedagang lintas benua. Dagangannya tidak tentu bergantung musim. Tetapi itu cukup untuk membuatnya mampu membeli rumah besar di pinggiran London. Omongan yang sulit dibuktikan mengingat Angus tinggal di hotel murah ini.

Lihat selengkapnya