Komunitas tingkat bawah

Aris Setiawan
Chapter #6

Pintar tapi tak bijak

“Ternyata begitu alasanmu, Nak,” kata Kardi.

“Biar kujelaskan, Kar. Raka, Dendi, pemikiranmu begitu bagus, tetapi tindakanmulah yang justru salah,” jelas Kusno.

“Kenapa begitu, Pak? Bukankah kami sudah benar, karena daripada kita tetap diam di sana sambil mendengarkan ocehan kosong tanpa arti, lebih baik kita keluar saja ke hutan untuk mencari pelajaran yang sesuai realita,” bantah Raka tak setuju.

“Sepahamku ya, Nak Raka, sejatinya semua tempat adalah sebaik-baiknya tempat belajar. Tak peduli itu pelajaran sesuai dengan kenyataan atau tidak, itu adalah hal lain.”

“Yang perlu kita lakukan adalah tetap memetik pelajaran dari semua hal yang kita pelajari, apa pun itu. Karena setiap manusia akan berubah sewaktu-waktu. Bisa juga loh, Ka, pelajaran di sekolahmu yang sekarang kau anggap omong kosong itu akan berguna untuk dirimu sendiri atau untuk membantu sesama,” jelas Kusno.

“Setidaknya kau sudah mendapatkan teman yang setia bersamamu, Nak Raka, seperti Dendi, temanmu itu, yang selalu mengikutimu dan selalu mendukung pemikiranmu.”

“Itulah pelajaran yang dapat kau petik di sekolah, Nak Raka. Tetaplah rajinlah bersekolah dan penuhi isi kepalamu dengan ilmu pengetahuan. Ya, Nak Raka, Nak Dendi.”

“Perbaikilah sistem pelajaran yang menurutmu tidak sesuai ini suatu saat nanti. Namun untuk memperbaikinya, kalian juga harus menimba ilmu dulu,” tutur Kusno seraya tersenyum pada kedua anak itu.

Kemudian Kardi pun langsung memotong nasihat Kusno dengan pandangannya dan tentunya ikut memberikan sedikit petuah untuk Raka dan Dendi, walau sekitar tiga puluh persennya diisi oleh lawakan jenakanya. Kardi mulai berkata:

“Ya, betul katamu, No. Raka, Dendi, tetaplah sekolah dan perbaiki perilakumu ini. Janganlah jadi seperti aku karena aku terlahir di keluarga yang tak mampu menyekolahkan anak-anaknya, dan aku harus rela tak bersekolah.”

“Dan tentunya aku harus rela jadi manusia terendah di dunia, dikala semua manusia mempunyai keahliannya masing-masing karena mereka menemukannya di bangku sekolah.”

“Jalankan keahlian, Nak Raka. Membaca saja aku terbata-bata. Aku harus mengajak Kusno dulu kalau mau pergi ke suatu tempat karena sekarang semua jalan penunjuk arahnya sudah memakai tulisan.”

“Tak seperti dulu, penunjuk arahnya adalah orang asli dan berbicara, 'Kanan, Pak. Kiri, Pak.' Tapi ya itu, sehabis itu pasti minta bayaran,” jelas Kardi sambil tertawa.

Lihat selengkapnya