Konamek Konamuk

QS. Mahayaan
Chapter #2

Tunggu Cinta Bangkit

Mimpi Pertama; Puncak teriakan adalah diam

Saat berkendara di jalan raya aku melihat sebuah tulisan “Tunggu Cintaku.” Terbesit dalam pikiran bayangan dirimu yang memudar terhempas topan rindu. Nafasku seketika berembus melambat seiring kilas wajahmu muncul dari balik asap kendaraan. Pekat walau jelas, menempel pada wajah dan menyesak dalam saluran hidungku yang begitu lebar. Sebab lebarlah pekat hitam wajahmu begitu tega mencoba mengambil lagi rindu yang sempat aku lipat dalam rak-rak lemari sejarah.

Kendaraanku kini terus melaju, namun dengan begitu pilu. Bayangan hitam sebab rindu muncul hanya karena “Tunggu Cintaku.”

Sungguh teramat bodoh aku, terpaksa memancing mulut ini merapal banyak mantra caci-maki. Mungkin aku salah, mengucapkan banyak mantra langit lapis tujuh hingga seisi penghuni hutan aku sebut satu persatu.

Sungguh aneh, asap semakin mengepul dari balik corong pipa-pipa kapitalis, pertiwi penuh dengan galian-galian kaum pemodal. Pandangan mata mulai mengabur, entah wajahmu yang anggun atau pertiwi yang menganggur tergusur dan lapar.

Isak tangis menjadi zikir akbar mengantar pada lubang kematian. Hutan, ladang, dan kebun. Ditanami banyak bangunan di atas tanah tulang belulang dan diirigasi darah abangan. Pernahkah kau berpikir tentang mata air diri yang menetes tanpa henti? Ya sama sekali tak berhenti.

Ini adalah mata air surgawi dari telaga kausar yang tertitis pada sukma tiap jiwa insan. Kali ini bendungan jebol, tak sanggup menampung genangan pilu dan tumpahlah air mata diri membasuh rekah merah pipi indahmu, yang kini cekung dan layu.

Berkali-kali telah aku sebut, entah telah perkalian berapa? Sepuluh; mungkin, sebelas; bisa jadi atau pembagian; itu tak mungkin, mustahil hal ini dibagi-bagi, ah... sudahlah. Tulisan “Tunggu Cintaku” hingga lidah kelu dan mati rasa.

Kini hanya tinggal kata “Tunggu” yang mengawang menembus tiap kantong-kantong saku. Meletakan merah biru dalam amplop yang tertulis “Dukung Aku” salah satu binatang ---Bangsat--- melompat dari pita suaraku.

Kau buat pertiwi sesekali sesak menghirup udara yang sempat asri, tak puaskah sudah kau bikin banyak lubang dan kau tusuk-tusuk pipa pada perut pertiwiku yang mengandung berjuta-juta kehidupan. Lantas, kini kau coba rayu aku dengan sekedar amplop bisu.

Sungguh, negeri amplop amat dungu ---Berengsek--- menggelikan. Ikatan pita suara tak ada guna, lolos lagi satu binatang mamalia pemakan ikan, termasuk hewan pengerat yang sering menumpuk kayu-kayu gelondongan di bantaran sungai sebagai rumah dan kekuasaannya.

Kendaraanku kini berhenti di persimpangan jalan, bingung; pasti, tersesat; belum tentu, ada gogle mape; jelas ada. Lalu?? Kemungkinan anda bertanya demikian. Akses jalan menuju tempat yang aku tujuh harus melewati sungai. Aku berhanti sebab jembatan penghubungnya telah rusak dan tak mungkin untuk dilewati kendaraanku juga kendaraan lain.

Lagi-lagi aku dengar suara mengawang dari parade puluhan manusia yang kemungkinan tak manusiawi. Berkeliling-keliling mengibarkan banyak aroma wewangi berteriak sana-sini, mengumbar-umbar banyak senyum penuh harap, dan yang terdengar begitu jelas adalah lagi-lagi ---Tunggu Cintaku--- lenggu sapi menyuarakan emohhh.

Lihat selengkapnya