Kau percaya dengan kepercayaan? Bodoh! Kepercayaan hanya milik kecurigaan, bangkitlah Kasih.
Hari semakin berlari membawa banyak sekali masalah yang tak akan pernah berhenti. Bayangkan saja masalah tak pernah ada, orang-orang akan hidup dalam kelemahan, terdiam dan tertindas. Kita selalu berbicara antara hitam dan putih dan, sebenarnya itu bukanlah satu hal yang berlainan. Hitam dan putih adalah dua sisi warna yang saling mengisi, warna hitam sebagai pelindung segala warna. Tugasnya sebagai sisi antagon dari segala bentuk warna yang terpantul pada indra manusia, sedangkan putih merupakan simbol sosok protagon.
“Bi, kopi enyong setunggal karo bakwane” pinta Syarif pada pemilik warung yang telah menjadi langgananya, “eh... ngopi apa kamu?” Syarif menoleh pada Esiano.
“Biasa, Rif. Kopi hitam pake susu... ada kan?” Esiano mengedipkan mata kirinya sambil mencolek pinggang Syarif.
Syarif terdiam beberapa detik dan, “O... ada-ada, tenang.” Bak kabel listrik “Bi... tambah kopi susu ya. Kopinya dua sendok, susu satu sendok setengan” kembali Syarif memesan pada wanita paruhbaya.
“Siap, Mas” jawab Bi Patmi, pemilik warung kopi Sedia Siaga. Awalnya warung kopi Bi Patmi hanyalah warung biasa layaknya warung-warung lain di pinggiran sungai. Tapi, kejadian tragis itu membuat sejarah baru pada wajah warung Bi Patmi. Saat itu gerimis rintik-rintik membasuh perkampungan penambang pasir ini dengan irama satu-dua, hingga berjarak sore menuju bada isya dan kemudian setelah itu hujan datang bersama kawanan yang lebih banyak, hujan semakin menjadi. Menuju pertengahan malam hujan berangsur reda walau rinti-rinti masih ada, tapi ternyata itu adalah awal dari badai besar prahara. Pasukan penuh hujan menggempur hampir habis bangunan di perkampuangan penambang pasir. Itu pula yang menenggelamkan banyak peralatan tambang dan sediktit banyak menelan korban. Kejadian teragis itu masih memberikan trauma besar di perkampuangan itu, pasalnya belum pernah terjadi musibah sebesar itu sebelumnya. Dengan sebab itu pula Bi Patmi menamai warungnya dengan sebutan itu, motifnya sederhana agar selalu bersiaga sewaktu-waktu pasti ada bencana dan bencana bukan hai asing dikehidupan manusia.
Kiri-kiri banting keras! Seorang kernet mobil truk mengarahkan sang sopir menurunkan pasir dari dalam bak. Seorang tua paruh baya mondar-mandir melihat ke kanan-kiri di tempatnya berdiri sambil membopong beberapa karajinan tangan khas daerah setempat.
“Sudah lama kau menambang, Rif?” ujar Esia menggoyangkan kepalanya.
“Bukan menambang, tapi mencoba bertahan”
“Ah... sama saja”
“Oh... jelas berbeda” Sarif mulai membakar rokoknya, “Menambang adalah bahasa bagi kaum idealis, sedangkan bertahan adalah langkah ril yang realistis. Bukankah begitu, Esia?” dengan senyum Sarif mengembuskan asap rokoknya.
Esiano memikirkan apa yang baru saja di sampaikan Sarif dengan sedikit senyum kecut, “dahulu semenjak masih menjadi aktivis kau selalu mensuarakan anti ekaploitasi. Banyak sekali menetang perilaku perusakan terhadap alam. Sampai-samai GBM yang hebat, gentar ketika kau telah bersuara lantang.”