Kondisi dan Syarat Berlaku

Rit Ardit
Chapter #3

02 - Diceramahin

TIIINNN!!!

Hari pertama dari semester baru bagi mahasiswa Universitas ANTARA. Tia sudah kejebak macet. Yang barusan tadi bunyi klakson bus asramanya. Pasti macet, namanya juga hari Senin.

Jarak tempat tinggal sementaranya ke kampus utama hanya sekitar 2 kilometer. Pagi-pagi di lobi asramanya dia seperti bermain Game of Sultans, harus memilih; jalan kaki panas-panasan, atau naik bus beresiko kejebak macet.

Naik bus pilihannya. Dia tidak mau lepek.

Harinya akan panjang. Pagi urus dokumen dan data yang kurang lengkap di laboratorium manajemen. Siang sampai sore ada kelas. Sore ke malamnya, mau iseng-iseng main lagi ke Sahabat Seduh.

Pagi itu merupakan hari pertama dia sebagai Asisten Laboratorium Manajemen. Belum bertugas. Tapi di hari-hari berikutnya, dia bertugas menjadi asisten dosen yang mengajar pelajaran praktikum. Pelajaran-pelajaran yang menggunakan perangkat lunak. Agenda pagi ini hanya untuk melengkapi informasi diri dan mengatur jadwal mengajarnya.

[Kak Ari! Maaf banget nih telat, macet!]

[Iya santai Tia. Briefing santai doang. Kakak juga baru aja sampe di parkiran.]

Dia turunkan tangan yang menggenggam gawainya. Bingung mau ngapain, apalagi pas macet. Sesekali dia melihat ke aplikasi WhatsApp, sudah ada nomor Rian di situ. Dilema, boleh tidak dia yang menghubungi Rian duluan? Tapi bagaimana memulai pembicaraannya? Diawali 'Hai' doang? Lalu lanjutannya apa?

Sampai juga akhirnya di kampus. Penumpang lain langsung grasak-grusuk lari keluar dari bus terbirit-birit. Tersisa Tia yang terakhir keluar dari bus. Langkahnya pelan dan santai menuju gedung kampus.

Di dalam gedungpun, ada yang berlarian gedebak-gedebuk di eskalator. Sedangkan Tia, membiarkan mesin canggih yang konon katanya diciptakan tahun 1850-an ini, membawa dirinya naik secara perlahan.

Ah. Sudah-sudah. Jangan sibukkan hari pertama dengan mencari-cari pertanyaan pembuka pembicaraan dengan Rian. Hari pertamanya di kantor para asisten laboratorium, fokus dulu! Begitu pikir Tia. Harus bersemangat dan berkharisma! 

Tia membuka pintu dan segera menyapa siapapun yang dia lihat pertama kali di dalam ruangan asisten lab. yang merupakan kantor kecil. "Halo, pagi kak Ari!"

"Halo Tia! Sampe juga akhirnya," balas orang yang sedang berdiri dekat pintu masuk. Ari, mempersilakan Tia untuk masuk dan duduk terlebih dahulu di meja kosong.

Baru berjalan beberapa langkah, Tia berhenti. Raut wajahnya berubah menjadi asem. Di salah satu meja komputer di ruangan itu, ada laki-laki menyebalkan yang dia kenal. Orang itu duduknya tegap. Mengenakan kacamata bundar dengan gaya sisir rambut yang tidak akan dia lupakan sejak hari Sabtu minggu lalu.

Rian. Rian yang nyolot di LIM waktu itu.

"Tia, sama kak Rian dulu ya urus datanya? Kak Ari ada panggilan alam nih!" konsentrasi Tia teralihkan oleh kalimat Ari barusan.

Tia membuang muka dari Rian. "Ohh.. iya kak Ari.." balas Tia, kemudian menajamkan tatapan matanya yang ditujukan kepada Rian.

Ari ngacir keluar ruangan. Menahan isi perut sambil macet-macetan memang sangat menyiksa. Saat pintu tertutup, hawa ruangan kantornya langsung tidak menyenangkan. Seperti ada senapan laras panjang yang dikokang. Atau seperti ada bau kemenyan dan bisikan mantra menyantet orang yang tercium serta terdengar.

Rian mengulum senyum formalitas sesaat, mencoba agar tidak canggung. Cowok memang kadang bodoh, tidak pandai membaca situasi. Dia tahu itu Tia yang sempat cekcok dengannya. Membiarkan masa lalu yang sudah terjadi baginya mudah, tapi tidak untuk Tia.

Baru saja Rian mendekat ke arah Tia sebentar...

PLAAAKKKK!!!

Rian ditampar! Padahal sumpah Tia dua hari yang lalu akan menonjok. Pikirannya berubah. Tamparannya sangat keras. Sudah pasti merah pipi Rian. Kacamatanya terpental. Tapi tubuhnya tidak tumbang. 

"ITU BUAT LINDA YA! JADI COWOK GAK USAH BELAGAK!" Tia mengaum keras.

Mendengar ledakan suara Tia, tatapannya Rian juga jadi tajam. Kepalanya dia putar 90 derajat, perlahan ke posisi semula. Urat-urat di rahangnya mengencang. Namun, wibawanya masih dijaga. Mengendus sekali sudah cukup, membuang emosi sesaatnya.

Tidak diduga-duga oleh Tia. Sudah pasti mulutnya terbuka menganga. Sekarang, wajah yang dilihatnya adalah seseorang yang juga dia kenal. Seseorang yang pernah dia temui, dan bingung antara naksir atau penasaran. Rian sang pemilik kedai Sahabat Seduh.

"Iya, gua temennya Surya," jawab Rian seusai membaca isi kepala Tia. Masih tercengang, tidak habis pikir, Tia menutup mulutnya setelah dia sadar. Hanya bisa berdiri sambil melihat orang di hadapannya mengambil kacamatanya yang tak berdosa di lantai. Kacamatanya sudah tidak tertolong. Gagangnya patah.

Dia letakkan kacamatanya ke dalam saku bajunya. "Emang Linda yang minta? Buat tampar gua?" tanya Rian tegas.

Masih ngeyel, Tia membela egonya sendiri. Tangannya ia turunkan dari mulutnya. "Ya enggak.., cuman.." gelagat Tia mulai canggung.

"Cuman apa? Cuman pengen ngebelain doang?"

"Cuman kak Rian keterlaluan kalimatnya! Bikin Linda nangis tahu gak?!"

"Yang kerjanya ceroboh siapa?"

"Ya...."

"Yang kelihatan gak niat kerja? Ngomong lupa?"

Lihat selengkapnya