TENEETT!!
Bunyi mesin absensi. Rian sudah tiba di ruangan kantor para asisten lab. manajemen. Sudah di hari Senin yang baru, dan sekarang masih jam enam pagi. Memulai hari lebih awal bukan tanpa tujuan. Waktu lebih yang tersedia saat ini, ingin digunakan olehnya untuk mencari 'pekerjaan tambahan' di aplikasi Pinjam Pacar.
Aplikasi ini mirip aplikasi peer-to-peer lending, atau sering disebut P2P Lending. Selain tawaran pekerjaannya yang beragam, nominal pembayaran juga berbeda-beda. Bahkan, metode pembayarannya juga bervariasi; diangsur, atau pembayaran penuh di akhir. Setiap calon penyewa bisa memasang sebuah penawaran, bisa juga mengajukan penawaran ke orang yang dirasa-rasa memiliki profil yang sesuai kebutuhan.
Notifikasi tawaran pekerjaannya membludak sejak akunnya terverifikasi sebagai akun Superstar hari Rabu lalu. 'Tung tung tung tung!' bunyinya, tanda banyak orang yang mengirim penawaran kepadanya. Wajar, karena dia ganteng. Tapi dia pemilih.
Mana mau Rian melayani orang yang hanya sanggup bayar sedikit. Hanya jadi teman chatting, atau paling mentok diminta untuk menemani double date beberapa kali. Gak sepadan.
Pagi-pagi, gawainya diletakkan di dekat keyboard komputernya sambil membuka aplikasi tersebut. Sesekali jari telunjuknya dipakai untuk menggerakan halaman aplikasi. Swipe ke atas dan ke bawah, untuk refresh dan mencari peluang terbaru. Belum ketemu juga. Orang-orangnya masih yang itu-itu saja dari kemarin.
Kalau calon 'penyewa' menarik dan bayarannya sesuai, barulah Rian mengajukan jasanya dan membuat kesepakatan. Intinya, tergantung waktu, hoki, serta siapa cepat dan cocok, dia yang dapat duluan.
BRAK! TENEETT!!
Jantung Rian terhenti sesaat. Dia balikkan gawainya karena panik. Takut ketahuan siapapun yang barusan datang masuk ke ruang kerja. Penasaran, dia menoleh ke arah pintu masuk.
Ada Tia. Jalannya tergopoh-gopoh. "Mati gue.. mati.." bisiknya terdengar oleh kedua telinga Rian. "Eh kaget gue!" jerit Tia. Dirinya tidak menyangka ada yang datang lebih pagi dari dirinya. "Pagi.. Yan.." gugupnya.
"Ya, pagi juga..."
Tia berjalan cepat dengan langkah-langkah kecilnya ke loker dokumen. Setumpuk kertas diambilnya, dan langsung dituang ke sebuah meja kosong. Tubuhnya mendarat di kursi dari meja itu. Gerakannya berisik, menggangu Rian. Rian kini mengenakan AirPod di kedua telinganya, memutar lagu dari gawainya. Kini, dia mulai bekerja.
BRAK! TENEETT!!
Lagi-lagi pintu dibuka dengan kasar oleh seseorang, dan pelakunya langsung melakukan absensi. Kali ini yang datang Ari.
Kak Ari berjalan ke tengah ruangan. "Pagi Rian, pagi Tia." Sapanya segera dibalas dua orang di ruangan itu.
"Kamu tuh masih ngutang periksa tugas ya sama bu Marpaung?!" tanya kak Ari agak meraung. Pertanyaannya barusan bernada tinggi, bukan ditujukan ke Rian.
Tia gugup. "I..iya kak.. maap... Ini langsung saya kerjain kok.." jawabnya dengan suara bergetar.
"Haduh! Bu Marpaung sampai kejar-kejar saya tahu gak?! Kok bisa baru diperiksa sekarang si?!"
"Gini kak.. aku bisa jelasin.. jadi tuh.. si bu Marpaung, kan suruh ketua kelasnya ngumpulin pas hari Jumat. Nah ternyata, semua mahasiswanya sengaja telat ngumpulin.. taro di lokernya kemarin Sabtu jam lima sore."
"Kamu dong yang harusnya tegasin sama disiplinin mereka!"
"Iya.. maap.."
"Yaudah, selesain ya pagi ini! Jangan sampe KPI bu Marpaung yang ngaruh ya!" perintah kak Ari tegas. "Saya mau ke kelas. Pokoknya sebelum jam dua belas siang mesti masuk sistem!" tambahnya sambil meninggalkan ruangan.
Benar saja kata Rian. Kak Ari versi galak mengerikan. Sedih rasanya pagi itu. Dua hari Senin berturut-turut, harinya diawali dengan tidak menyenangkan. Rian tidak mau berkomentar. Dia membiarkan Tia pontang-panting mengerjakan tanggung jawabnya.
Sebuah pesan masuk ke telepon pintar Rian. Dari Surya.
[Yan, si Marco bisa telat nih. Ban motornya bocor!]
Pagi-pagi jam tujuh lewat tiga puluh menit, setengah jam sebelum kafe Sahabat Seduh Grand Opening, Rian menerima kabar tersebut. Berselang kurang dari satu menit, pengirimnya langsung menelpon Rian.
Rian sentuh AirPod-nya sebanyak dua kali. "Gua bilang juga apa kan..." komentarnya bernada tinggi setelah panggilan tersambung.
BRAK!
Sebuah pena merah dipukul keras-keras ke atas meja. Suara keras tersebut membuat Rian kaget.
"YAUDAH SI?! GAK USAH NGELEDEK!" gertak Tia sambil menatap tajam ke arah Rian.
Hah? Alis Rian langsung bertaut. Bingung. Matanya sudah tertuju ke asal amukan tersebut. Ada tatapan tajam dari Tia. Merasa tidak berdosa, Rian mencoba memahami situasi yang sedang terjadi.
"Bentar ya Sur, gua telepon balik nanti," bisik Rian sambil mengetuk lagi alat yang sedang bertengger di telinganya. "Apaan sih Ta?" perhatiannya kini beralih, ke orang yang mengajaknya bicara barusan. Dia menduga, Tia pasti salah sangka.
"LU PIKIR GUA GAK TAHU BARUSAN LU NGELEDEK?! HAH?!" lanjut Tia. Tubuhnya sudah bangkit berdiri dari kursinya. Kantong matanya terlihat, kurang tidur sepertinya. Pantas, mudah kesulut. Benar saja dugaan Rian.
"Gak usah geer.., gua tadi ditelpon Surya.." jelas Rian dengan wajah asem. "Yaudah, gua keluar biar gak ganggu." Dia putuskan untuk meninggalkan Tia sendirian di dalam ruangan.
Tia baru sadar. Wajahnya sedikit memerah. Dia pikir kalimat yang keluar dari mulut Rian barusan ditujukan pada dirinya. Ternyata bukan. Astaga. Baru juga masuk minggu ke-2 perkuliahan. Apes melulu!
Sesaat setelah Rian keluar dari ruangan, Tia langsung memukul-mukul kepalanya sendiri ke permukaan meja. "Ya ampun Ta kok lu oon banget si.." jeritannya keras dalam hati sambil mengacak-acak rambutnya. Jidatnya diketuk-ketuk perlahan ke meja di depannya. Menghukum dirinya sendiri.
*****
"Tadi kenapa dah?" suara dari seberang sana.
"Tahu tuh! Si Tia marah-marah ke gua," decak Rian sambil menaruh tangan kirinya di saku celana.
"Hah? Lu berantem lagi?"