Kondisi dan Syarat Berlaku

Rit Ardit
Chapter #6

05 - Tugas

Setelah beribadah di sesi pagi hari, Rian sudah bersiap-siap. Ingin bertemu dengan kliennya. Menurut janji yang mereka buat di chatting, mereka sepakat bertemu di siang harinya. Dari bawah ke atas, dia mengenakan; sepatu merah, celana panjang berwarna gelap, atasan T-Shirt dan dibungkus kemeja denim. Bukan kostum TMNT.

Tinggal memilih kacamatanya. Eits, sial! Baru saja dia teringat, gara-gara Tia, kacamata favoritnya sudah tutup usia. Kacamata cadangannya yang dia pakai. Warnanya coklat, seperti mochaccino.

"Ampun, udah ganteng tambah ganteng aja," celetuk Surya. "Perlu gua temenin gak?"

"Gak usah," nada Rian datar.

"Dih? Kalau gua mau jalan sendirian ke sana? Gak boleh? Gua juga kepo ngeliat wajah dia langsung kayak gimana, masa gak bisa sih nanti diatur gua pura-pura ketemu kalian?"

"Yaudah, lu mau ikut?" tanya Rian sambil merapikan rambutnya agar klimis.

"Enggak ah, gak jadi, Rian habisnya galak!" canda Surya. "Nih," lanjutnya sambil menyerahkan kunci mobil miliknya.

"Oke, thanks!"

*****

IRASSHAIMASE!!

Sahut para pelayan saat Rian memasuki restoran hidangan khas Jepang. Spesialis sushi. Restoran yang baru buka di salah satu mall Jakarta Barat ini dipilih oleh Vanessa, karena dia penasaran. Rian melihat jam kecil berwarna hitam di tangan kirinya. Aman, janjiannya masih setengah jam lagi.

"Selamat siang kak! Kita waiting list ya kak, untuk berapa orang?" sapa sang pelayan berbaju hitam dengar ramah. Kepalanya sesekali melirik ke dalam, memperhatikan meja mana yang akan segera kosong.

"Iya selamat siang juga. Untuk dua ya."

"Mau meja biasa atau sushi bar?"

"Meja biasa aja. Kalau bisa.. yang dekat jendela, ada?"

"Baik, kita usahakan ya, atas nama kakak siapa?"

"Rian."

"Baik kak Rian, antrean ke-2 ya," sang pelayan sambil mengetik layar komputer di depannya. "Ini nomor antreannya, nanti akan kami panggil ya." Pelayan tersebut menyerahkan struk bertuliskan nomor antrean.

Duduklah Rian di kursi yang disediakan. Keramaian membuat Rian agak pusing. Pengunjungnya saat itu kebanyakan keluarga yang datang berbondong-bondong. Dari yang sudah lansia, hingga yang masih balita. Mayoritas menunggu panggilan sambil bercengkrama. Ada juga yang bermain gawai. Kalau Rian, membaca buku yang dibawanya dengan tas selempang.

Baru jalan beberapa halaman, Rian sudah dipanggil ke dalam dan segera duduk. Mejanya yang kecil, memang untuk dua orang, berhadap-hadapan.

Rian mengeluarkan gawainya. Sebuah pesan singkat dia ketik dan segera kirim. [Hai Vanessa, gua udah sampe dan udah dapet meja ya, agak di dalem.]

[Eits, baik banget udah ngantre. Oke deh, bentar lagi sampe kok, terus gua jalan ke dalem ya.] balas Vanessa juga singkat. Dia menduga-duga Rian sempat mengantre.

'Inget, biar lu udah dateng duluan ke tempat makan, lu mesti keliatan care orangnya, lapin alat-alat makannya kalau dia udah duduk bareng.' Rian teringat kata-kata Wira kemarin-kemarin. Suara dari kepalanya menghentikan gerakannya untuk melakukan acara bersih-bersih.

'Jangan pesen duluan, biar cuman minuman kek, pokoknya jangan! Tahan haus.' Lagi-lagi terngiang ceramah kemarin, entah dari Surya atau dari Wira.

Seorang pelayan menghampiri, "Sudah siap pesan kak?"

"Belum kak, masih lihat-lihat," bohong Rian. Padahal, dia sudah tahu mau pesan apa saja. Perutnya sudah keroncongan, apalagi dibuat semakin lapar oleh foto-foto makanannya. 

Mendengar jawaban Rian, sang pelayan langsung manyun dan melengos. Batinnya mungkin berkata, "Sia-sia gua datengin, malah gak pesen, bikin gua bulak-balik aja ntar!"

[Eh, gua udah di depan nih! Dalem sebelah mana?] pesan baru masuk. Jantung Rian dibuat berdebar-debar.

[Dari luar, masuk aja, agak pojok, deket jendela.] balas Rian singkat. Mampus. Habis ini, kenalannya perlu formal tidak? Perlu ajak salaman? Gua mesti berdiri nih? Kursinya dia perlu gua tarikin enggak ya? 

"Hai Rian!", sapa seseorang dengan penuh girang. Ucapannya datang dari punggung Rian, membuat puluhan pertanyaan tadi segera terlupakan. Tubuhnya harus dia putar untuk melihat siapa orang di belakangnya. Sial, bodoh banget. Kenapa enggak dari tadi duduknya di kursi yang bisa melihat orang masuk dari depan?

"Iya.., hai, Vanessa.. ya?" Rian berdiri agak gugup. Tubuhnya bergetar, 1 skala ricther.

"Iya, salam kenal!" itu Vanessa. Dirinya yang langsung menawarkan tangan kanannya untuk dijabat. Bagus, meminimalisir kemungkinan terjadinya kecanggungan. Tangannya kecil, lembut, dan menghangatkan. Tubuhnya langsung mendarat ke kursi yang ada di depan Rian.

Berbeda dari fotonya, ternyata saat ketemu secara langsung wajahnya cantik b-a-n-g-e-t. Benar saja tebakan Rian, tinggi tubuhnya sekitar 165cm. Rambutnya lebih panjang dari foto-fotonya, beberapa ujungya dikeritingkan. Terlihat jelas, warna rambutnya dicat, tapi sangat hati-hati sekali menggunakan warna natural. Bajunya sangat feminim, berwarna biru. Jam tangannya, digantungkan di lengan kanan.

Lihat selengkapnya