"Hah? Besok banget?"
"Iya Yan, bisa gak reserved satu meja? Hari penting nih!"
"Yaudah, nanti gua urus."
"Oke deh, thanks ya! Lu emang terbaik!"
Rian memutus panggilan dari Nathan. Barusan membahas 'kencan pertama' Nathan. Sesuai saran Wira dan Surya, kencan pertamanya akan terjadi di kafe Sahabat Seduh. Rian mengetik pesan di aplikasi WhatsApp, memberitahu ke karyawan yang akan bekerja di hari Minggu.
"Barusan temen lu?" tanya Vanessa. Rian dan Vanessa sedang duduk di sebuah kursi tunggu bioskop. Di sana, belum ada panggilan pintu theater telah dibuka.
"Iya."
Vanessa yang sudah selesai memotret tiket menontonnya, segera memasukkan gawainya ke dalam tas yang dibawanya hari itu. "Kenapa? Kepo dong!"
"Dia mau dateng ke kafe, besok."
"Hooo. Oke."
Rian ceritakan panjang lebar soal Nathan. Vanessa tertawa terbahak-bahak. Dia jadi penasaran, ingin sekali dipertemukan, untuk saling berkenalan. "Hobi nonton juga gak dia?" tanya Vanessa setelah tawanya reda.
"Enggak." Rian menggelengkan kepalanya. "Hobinya nyicip makanan doang."
"Tahu dari mana? Kata lu baru kenal satu tahun doang? Yakin banget lu dia gak suka nonton?"
Gawainya dia masukkan ke dalam saku celananya. Dia tatap mata Vanessa dalam-dalam. Perhatiannya kini benar-benar tertuju kepadanya. "Gua tuh pernah, lagi mau nonton, awalnya gua, Surya, sama Wira. Nah, paginya, kita coba ajakin dia." Jari-jari di tangannya dipakai untuk membantunya saat bercerita.
"Dia nolak?" Vanessa sangat antusias hingga memotong cerita Rian sesaat sambil menyeruput iced lemon tea with jelly miliknya.
"Bukannya nolak, dia tanya balik; 'Emang ada tiket lebih?'"
Vanessa mengerutkan dahinya. "Hah?!"
"Iya beneran! Dia tanya kayak gitu," tawa pelan dan sesaat keluar dari mulut Rian. "Mana ada kan logikanya? Masa iya ada orang beli tiket nonton ngeborong, baru ngajakin temen-temennya? Gak mungkin dia hobi nonton dong?"
"Ya.. mungkin dia mikirnya.., ada temen lu yang gak bisa dateng, jadi.. dia pikir dia penggantinya?"
"Ya kalau ada tiket lebih, gua sebut di awal pasti; 'Ada tiket lebih nih, temen gua yang ini, atau si A, gak bisa dateng, mau gak lu ikutan nonton?'. Soalnya menurut gua, kebanyakan orang yang hobi nonton, sebelum beli tiket harus tahu dulu siapa aja temennya yang bisa ikut, kan?"
Vanessa perlahan-lahan setuju dan paham maksud Rian. "Berati dia bukan kebanyakan orang..."
*****
"Lantai duanya bisa dipake gak sih?" tanya Nathan. Hari Minggu, setelah jam makan siang, Nathan sudah menginjakkan kakinya di kafe Sahabat Seduh. Tumben-tumbennya, siang itu belum kedatangan pengunjung lain selain Nathan.
Tubuhnya kini tidak lagi mengenakan kostum TMNT. Bajunya kaus polo shirt warna kuning, ada jahitan berbentuk anjing Basset Hound. Celananya, jeans gombrong. Sepatunya, sepatu sporty ala bapak-bapak.
"Bisa kok," jawab Surya menyanggupi permintaan Nathan. "Mau? Yuk ke atas," kata Surya sambil merangkul akrab bahu Nathan. "Emang kenapa mau di lantai dua?" tanya Surya penasaran, sambil menaiki beberapa anak tangga.
"Mau kepo aja. Di atas lebih tenang gak dari di bawah?"
"Sama aja menurut gua. Dari kemarin sih anteng-anteng pengunjungnya, belum ada yang rusuh. Kebanyakan anak kampus mungkin, ngerjain tugas."
"Oh, iya juga ya.., haha," tawa Nathan melemas. "Sebenernya.., gua takut si, kalo di bawah. Takut kalah ganteng sama Rian."
"Hah?! Hubungannya apa?"
"Ya kalau nanti pas ngobrol, dianya gak fokus? Ngeliatin Rian kerja?"
Memang bikin tepok jidat cara berpikirnya. Surya ceramahi temannya panjang lebar. Nathan sudah diajarkan banyak teori oleh Wira dan dirinya. Sudah benar yang dilakukannya barusan, datang lebih awal. Tinggal sekarang, menjadi dirinya sendiri, dengan nyali yang tidak ciut. Dan, menghindari pikirannya yang ngelantur.
Gawai Nathan bergetar. Getarannya terdengar walau dari dalam saku. Empat mata memandangi benda kecil tersebut. Ada pesan masuk. "Eh! Dateng nih!" seru Nathan antusias, setelah melihat notifikasi pesan barusan.
"Ya turun jemputlah!"
Nathan meninggalkan Surya di atas. Surya tidak segera turun. Dia persiapkan ini dan itu yang ada, mulai dari kebersihan meja, tissue, termasuk sabun cuci tangan di wastafel. Ini demi kenyamanan penghuni pertama lantai dua di hari itu.
Langkah kaki Nathan berisik, memancing perhatian Rian. Mendarat di anak tangga paling dasar, Nathan tersenyum menatap Rian. Rian paham, dia langsung bergegas menjaga kasir. Tamu spesial Nathan sudah hadir. Di depan pintu, sudah ada seorang wanita remaja. Tingginya sekitar 160cm, kini dia membuka pintu dan melangkah masuk.