Malam di hari Sabtu setelah makan-makan dengan Vanessa dan Steven berserta teman-temannya memang melelahkan. Belum lagi, ada kecelakaan di jalanan. Penyebab macet. Kepala Rian sudah sangat penat. Rasa pegal dan memar di otaknya baru terasa sekarang, setelah serangkaian 'kebetulan' dia alami.
"Gile malem banget? Macet?" tanya Surya setelah menutup buku resep makanan yang sedang dibacanya.
"Ya gitu deh. Truk sama taxi. Kasian."
Rian melempar tubuhnya ke atas sofa ruang tengah. Dia nyalakan TV, untuk menonton sebuah acara berita. Baru juga dinyalakan sebentar, dia sudah tinggalkan. Beranjak ke pantry, mencari minuman segar. Ya setidaknya TV tersebut berfungsi agar ruangan tidak terlalu sepi.
Tegukan pertama serasa melepas dahaga yang ditahan berhari-hari.
"Gimana tadi? Udah ketemu mantannya?" Surya menghampiri Rian ke arah pantry. Dia ambil kudapan cokelat batangan yang bisa dipotek untuk dibagi dua. Satunya, ditawarkan ke Rian.
"Kacau deh," ucapnya sambil mengunyah cokelat yang ditawarkan Surya. "Mantannya itu, 'Arnold'-nya si 'Felis' yang sering diceritain Nathan. Nah si Felis juga dateng tadi. Terus, ternyata ada Wira, bareng temen viharanya."
"HAH?! Gila, seriusan?"
"Iya, serius. Masa gua bohong. Dah, gua mau mandi dulu."
"Dih! Cerita kok ngegantung!"
*****
"Ngantuk banget gua. Masih banyak tugas nih, malah besok ketemu Nathan," decak Rian sambil membuka laptopnya dan mulai mengerjakan sesuatu.
"Ntar kali maksudnya?"
Ah iya. Rian baru tersadar. Sudah jam dua belas pagi lewat sepuluh menit. Artinya sudah berganti hari. "Iya. Ntar! Dua belas jam lagi! Puas lu?!"
"Hahaha, santai jangan ngegas, cuman bercanda," gelak Surya. "Hmm, ya gimana dong, namanya juga hidup?"
Rian iseng mengimpresi wajah Surya sambil mengutip kalimat Surya barusan.
Melihat tingkah kawannya, Surya sedikit jengkel. "Percaya sama Surya! Mungkin kemarin lu stress pas jalan bareng, tapi kalo nanti sama Nathan, harusnya bakal banyak ketawa lu. Enjoy aja!"
Surya sudah mendengar kronologi apa yang dialami Rian kemarin. Pertemuannya dengan Steven atau Arnold, Felis, Wira dan Nathan, bahkan Tommy dan Linda, memang sesuatu.
"Terus, lu gak akan cerita dong ke Nathan?" tanya Surya lebih lanjut.
"Ya kaga lah. Buat apa juga dia tahu?"
"Felis kan incerannya dulu. Ya minimal kasih kabar dia udah tunangan, biar si Nathan beneran siap move on."
"Ya justru kebalikannya dong. Ngapain? Katanya dia mau deketin Jessica. Gua jadi Nathan sih, ngapain juga dikasih tahu ternyata mantan inceran gua udah mau married?"
Surya menutup buku bacaannya. "Ya, gak semua orang mikirnya kayak lu Yan. Contoh si Vanessa? Malah mau balas dendam? Ya gak?"
Tanya Surya menghentikan jari-jari Rian yang sedang menari di atas keyboard. Hening sesaat karena sedang berpikir. "Ya, tapi tetep aja, kayaknya gak usah cerita. Nanti dia tanya-tanya soal Vanessa juga, terus mulut ember. Tahu sendiri lu Nathan kayak gimana."
"Iya sih..."
"Tapi gua bingung Sur. Emang bisa ya kayak gitu? Vanessa bilang putus tiga bulan sebelum dia mulai kuliah. Terus pas Nathan, itu kan minggu-minggu awal kuliah tuh, yang dia cerita soal ditolak Felis. Berarti si Felis tuh either lagi pacaran sama Steven, atau udah mulai tunangan, kan? Masa Nathan bisa gak tahu?"
"Ya.. lu yang bilang sendiri? Tahu Nathan kayak gimana?"
Ah iya. Benar juga. Kenapa Nathan harus secara tidak langsung ada hubungannya dengan ini semua? Seandainya saja Nathan tidak ngebet dengan Felis atau tidak kenal dengannya, seharusnya apa yang dialami Rian kemarin akan sangat sederhana. Hanya dikenalkan dengan orang yang sama sekali tidak mengenal kenalan-kenalannya.
*****
Dari rumah ibadah, Rian meluncur ke Sahabat Seduh terlebih dahulu. Ada yang ingin dia urus. Memeriksa persedian bahan baku serta kondisi peralatan-peralatan kerjanya. Siangnya, baru dia dijemput oleh Nathan. Sesuai janjinya, dia yang akan menjemput semua orang yang akan dia ajak makan-makan siang itu.