"Seriusan?! Nathan ngambek kayak gitu?" Vanessa kaget mendengar cerita harinya Rian kemarin.
Rian mengangkat kedua bahunya sambil memegang setir mobil, "Iya. Tahu dah, aneh tuh orang. Kalau menurut lu gimana?"
"Hmm... Bingung gua, kayaknya kok dia desparate banget mau pacaran?"
"Iya, kayak haus kasih sayang. Gak paham lagi gua."
"Entah ya," kalimat Vanessa terhenti sejenak karena tangannya mulai sibuk. Ia mengambil ikat rambut dan mulai menguncir rambutnya. Memberikan kesan imut, tapi sporty. "Gua gak bisa komen banyak sih. Tapi kalau boleh tahu, dia ada masalah gak sih? Sama keluarganya gitu?"
"Hmmm..."
Rian melambatkan mobilnya. Mereka sudah sampai di sebuah gerbang tol. Vanessa langsung menghentikan niat Rian membayar gerbang tol.
"Eits!" tangan kanannya sudah menadahkan kartu uang elektronik bergambar Disney Tsum Tsum ke hadapan Rian. "Kan gua yang minta dijemput, jauh lagi."
"Oke, thanks." Rian langsung melakukan pembayaran, dan segera mengembalikan kartunya. "Lagian kenapa harus maen bowling-nya di Tangerang coba?"
"Ya tanya aja langsung ke Steven!"
Rian memutar kedua bola matanya ke arah Vanessa. Tanpa ada kalimat tanya, Vanessa sudah tahu apa maksud Rian.
"Hahaha, canda doang Iyaann!" lengan Rian dicubit oleh Vanessa. "Dia member gitu di sana, diskon 50% kalau hari biasa, kalau akhir minggu, diskon 25%."
"Per orangnya berapaan?"
"Hmm.. sekitar lima puluh ribu, tapi belum termasuk sepatu kayaknya. Lupa-lupa inget gua."
"Wah.. ada diskon kayak gitu lumayan ya..."
"Yann!!"
"Hah?"
"Tanya gua belum lu jawab!"
"Eh? Oh iya! Hmm, enggak si, mungkin bokap sama nyokapnya agak keras ke dia. Mungkin itu yang ngaruh ke sifat dia gak sih?"
"Hmm.. gitu ya.." Vanessa kepo dengan Nathan. Gawainya dia gunakan untuk menguntit Nathan di sosial media, dan mulai melihat foto-fotonya. "Gua masih heran sih, lu kok mau akrab sama dia?"
"Ya.. karena kalau main kartu, berempat melulu sama dia?"
"Cuman gara-gara maen kartu?"
"Enggak juga si. Dia sebenarnya orang baik. Orangnya paling gercep gitu kalau dimintain bantuan. Pas mau nyebar survey harga Sahabat Seduh, dia tuh paling getol. Ke temen-temenya gitu, wah paling nafsu deh sebar link Google Form-nya. Tapi ya.. kalau urusan deketin cewek..."
"Hahaha, tapi lu ternyata orangnya gitu ya?" tanya Vanessa membuat Rian menarik kepalanya ke belakang. "Kalau kenal, ya lu tetep usaha akrab sama dia. Tapi kalau belum kenal, lu bodo amat soal perasaannya.. gitu gak sih?"
Mulut Rian terdiam sesaat. Bibirnya dia rapatkan dan gerak-gerakkan. Berpikir, mencari-cari jawabannya di dalam kepalanya. "Buktinya apa dulu?"
"Ya kayak yang pas makan bareng pertama kali, kayaknya lu galak banget ke pelayan restorannya. Terus, gua udah denger cerita pacarnya Tommy, si Linda, katanya lu pada gak sengaja kenal karena ketemuan di LIM? Terus lu negur atau ngebentak dia karena ada lupa informasi ya?"
"Ya.. si Linda jadi karyawan di sana masa kerjanya lupaan?"
"Ya, maksud gua, sama karyawan yang gak dikenal, lu negur orangnya. Setelahnya kan lu yang cerita, si Tia ngebelain dia, nampar elu. Habis itu setelah lu kenal Tia, dan ngerasa kasihan ke Linda, lu bayarin mereka kopi? Hahaha."
Rian terdiam lagi. Kali ini berpikir, apakah yang dikatakan Vanessa benar atau tidak. Dia luruskan suatu kesamaan dari contoh Vanessa. "Bentar.. gua tuh kayaknya galak kalau soal kerjaan deh.."
"Oh ya? Gara-gara kerjaan doang?"
"Yang lu sebutin yah.., gua marahnya gara-gara mereka kerjanya kayak gak ngebantu gitu. Buang-buang waktu gua lebih tepatnya.."
"Nah, berarti pertanyaannya sekarang.." jari telunjuk Vanessa mengudara. "Habis lu pada kenalan, tetep jadi galak gak kalau kerjaan mereka ada yang salah-salah?"
"Yah gak tahu deh, belum pernah kejadian aneh-aneh lagi sih."
"Pada kapok kali ya kalau liat Iyan marah-marah? Haha."
*****
"Iyaann!!"
"Apa lagi Van?"
"Gandeengg!"
Astaga. Baru juga keluar dari mobil. Sudah bertingkah saja si Vanessa. Hari Sabtu memang 'wakuncar'. Waktu Kunjung Pacar. Banyak pasangan yang berlalu lalang di parkiran mobil. Tidak jarang diantara mereka yang sedang berjalan, ada yang bergandengan. Rian maklumi saja minta si Vanessa.
Sore menjelang malam, jam setengah tujuh, Rian dan Vanessa sudah tiba di kawasan yang mempopulerkan dirinya sebagai mal tanpa dinding.
Tempat ini seperti sebuah taman luas yang dilengkapi beberapa gedung dengan ketinggian dua sampai tiga tingkat. Lumayan lengkap, karena selain ada supermarket, ada beberapa restoran, bahkan ada juga sebuah bank.
Dari gedung parkiran yang menyatu dengan gedung bioskop, mereka harus berjalan beberapa langkah untuk bisa sampai di tempat bermain bowling.
"Ngapain gandengnya sekarang coba..."
"Kenapa juga harus nanti-nanti?"
"Emang bakal ada yang lihat..."
BLAMM!
"Vaannnn!!" suara melengking itu menyita perhatian Vanessa dan Rian.
Dari sebuah sudut parkiran, ada Wanda yang baru saja menutup pintu mobil.
"Ya ampun! Baru di parkiran, udah nempel kayak perangko!"