Berdelapan, kini mereka sedang menyantap makan di sebuah restoran spesialis sate khas daearah Senayan sejak tahun 1970-an. Makan tengah. Pesan menunya bersama-sama, namun makannya 'siapa-cepat-dia-dapat-lebih-banyak'.
Bukan cara makan yang disukai oleh Rian. Dari tadi matanya bisa melihat berbagai jenis orang; 'si yang makannya banyak dan lahap', 'si yang anteng-anteng saja tapi mengoleksi lauk di piring pribadinya', dan 'si yang pura-pura biasa saja dan makan secukupnya', seperti si Rian saat ini.
Salah satunya adalah Vanessa. Apalagi, mereka duduk bersebelahan di pojokan meja panjang tempat rombongan berkumpul. Posisi mereka tidak menguntungkan.
Dari empat puluh tusuk sate ayam tanpa kulit yang dihadirkan di meja tersebut, Rian hanya kebagian tiga tusuk. Apalagi Vanessa, hanya dua.
"Temen-temen, perhatian bentar dong," Steven memohon perhatian kepada rombongan dengan suara cukup lantang.
Ketika semua pasang mata sudah memandangi dirinya, dia bangkit berdiri sambil menenteng tas selempangnya. Tangannya merogoh-rogoh ke dalam, dan menarik beberapa benda keluar.
Kartu undangan pernikahan. Sahabat-sahabat karibnya langsung bersorak. Di tengah euforia, kartu tersebut mulai dibagikan. Beberapa orang mulai membuka bungkus plastiknya dan membaca isi dari kartu undangan.
Tertulis di lembaran tebal tersebut, sebuah tulisan tanggal cantik pernikahan dilapis warna emas. Acara pernikahannya, berlokasi di sebuah hotel cukup mewah daerah Jakarta Barat. Dihitung dari hari ini, kurang lebih sekitar sebulan lagi.
Sepatah dua kata tidak penting dan relevan bagi Rian, diucapkan Steven. Teman-teman setianya khusyuk mendengarkan setiap kata dari mulutnya. Di tengah kalimatnya, perhatian Rian tersita.
Di bawah meja, telapak tangannya digenggam erat oleh Vanessa. Rian menemukan wajah Vanessa agak berkaca-kaca. Saat mata mereka bertemu, Vanessa berusaha mengulum senyum. Entah senang karena seporsi rencananya agar bisa diundang ke pernikahan telah berhasil, atau berusaha untuk tetap tegar.
"Yak!" seru Steven memecah lamunan Rian.
"Jangan sampe pada telat ya! Apalagi sampe kelewatan wedding kiss-nya! Hahaha!" canda Steven menutup pidatonya, disusul dengan tawa orang-orang tedekatnya.
*****
Urusan bayar makanan sudah ditanggung oleh Steven. Beberapa personil rombongan sudah mulai meninggalkan meja makan. Rian masih di dalam restoran, hendak mencuci tangan. Baru mulai membasuh tangannya dengan sabun, Steven hadir di sebelahnya.
"Gimana? Seru gak hari ini?" tanya Steven, menimbulkan kecurigaan. Alis Rian sudah ditautkan. Dia tidak mau terlalu bayak bercakap-cakap. Apalagi, itu Steven. Dia hanya menangguk.
"Gua baru tahu lu jago juga ya main bowling-nya!" seru Steven mulai menyabuni kedua tangannya. "Kapan-kapan kalau diajakin, jangan nolak ya!"
Rian bingung harus menjawab apa, "Haha. Iya."
"Gak nyangka gua ama lu, si Vanessa langsung bisa."
Jadi ke arah situ pembicaraannya. Sepertinya benar kata Vanessa. Steven mudah cemburu atau merasa kalah dengan cowok lain yang bisa melakukan 'lebih' darinya. "Boleh. Kalau sempet," jawab singkat Rian sambil hendak mengeringkan tangannya.
"Gimana, makanannya....."
NGUUUIINNNGGG!!
Mesin pengering tangan sudah beroperasi. Keadaan jadi canggung. Rian bisa saja pura-pura tidak mendengar tanya Steven terakhir. "Sori, kenapa?" Rian putuskan untuk berbincang-bincang sesaat dengan Steven.
"Suka gak makanannya tadi? Tadi kayaknya gua perhatiin lu gak milih-milih menu? Takutnya lu gak suka ya?"
"Ah.. enggaklah. Enak-enak aja kok. Gua sih ngikut-ngikut aja."
"Oh. Baguslah."
Pembicaraan ini semakin aneh. Apa kepala Steven terbentur sesuatu? Kenapa tiba-tiba dia jadi ramah?
Rian rencakanan satu pernyataan terakhir, untuk meninggalkan orang tersebut. "Eh, makasih loh udah dibayarin."
"Eh santai aja! Kan minggu lalu gua sama Felis yang dibayarin. Lagian yang tadi, lebih mahal kan? Hahaha!"
Ternyata congor orang ini masih saja mirip seperti terakhir kali bertemu. Sombongnya minta ampun!
Sudah sombong, ternyata orang ini agak jorok. Sambil tertawa, dia mengeringkan kedua tangannya, tapi bukan dengan mesin pengering. Kedua tangannya dikibas-kibaskan saja di udara sesaat, lalu dipeperkan ke celananya.
Rian pamit dari area wastafel, dan langsung melongos ke pintu keluar.
Vanessa melihat pasangannya sudah melewati pintu. "Lama amat?" tanyanya saat Rian sudah berada di sebelahnya.
"Mesin pengeringnya udah lemah."
Steven berhasil keluar dari pintu sebelum tertutup sempurna. "Habis ini pada mau ke mana?" tanya Steven nimbrung di pembicaraan banyak orang.
"Kita sih udah mau balik," jawab Wanda duluan. "Besok ada acara di vihara."
"Oh. Oke sip mantap. Hati-hati di jalan ya!"
Berenam, rombongan yang ditinggalkan melambaikan tangan ke arah Wanda dan Wira. Wira dan Wanda sudah berjalan menuju gedung parkiran dan mulai tak terlihat.
"Kalau Tommy sama Linda?" tanya sang ketua rombongan malam itu.
"Mau ke Midnight Sale nih," dagu Tommy dimanyunkan ke arah Linda. "Yang di Karawaci."
Kembali, sisa rombongan melambaikan tangan ke arah pasangan yang berjalan ke arah area parkiran terbuka.
"Lu sama Rian?"
"Belum ada rencana lagi," jawab Vanessa cepat sambil merangkul lengan kiri Rian. "Palingan langsung pulang, ya gak?"
Steven mengiyakan jawaban Vanessa. "Mau ikutan kita nonton jam midnight gak?"
"Enggak!"
"Enggak!"