Kondisi dan Syarat Berlaku

Rit Ardit
Chapter #19

18 - Diantarkan

"Juara berapa?" tanya Rian setelah dia masuk ke dalam mobil juga.

"Satu nih. Hehe."

"Wah hebat dong! Si Jessica hobi nyanyi dari sejak kapan?"

"Ya dari kecil. Kelas lima SD, ikut paduan suara gitu di sekolah."

"Ohh. I see I see... Lu tadi nemenin dari awal? Atau pas tampilnya?"

"Dari mulai acara dong! Dandan aja gua bantu dikit-dikit."

"Oh? Terus? Bareng Nathan juga?"

"Duduk sebelahan!"

Dalam mobil kini tertawa ringan. Tia ceritakan pengalamannya beberapa jam duduk di sebelah Nathan. Canggung. Sangat canggung. Nathan orangnya memang terlalu terbuka. Sama siapapun yang dia anggap akan akrab. Entah segala cerita, kekonyolan, bahkan sedang kesal dengan siapa, dia tumpahkan semua ke Tia.

Dari cara Tia menceritakan apa yang dialaminya siang tadi, mungkin Tia risih. Tapi dia berusaha memahami Nathan. Orang yang sedang tergila-gila dengan saudara kembarnya. Ya walaupun, curhatnya didominasi dengan kekesalannya terhadap banyak hal yang tidak sejalan dengan pemikiran Tia.

"Mungkin bener kali ya? Daya tariknya Nathan itu karena dia terlalu polos dan jujur?"

Tanya Tia barusan membuat serdadu di dalam otak Rian tersentak. Teringat akan kurikulum pengajaran Nathan di beberapa malam bersama Wira dan Surya. Sempat Rian dengarkan sebuah penjelasan salah satu cara paling ampuh memenangkan hati seorang cewek adalah bersikap jujur. Tidak disangka ternyata menjadi jujur adalah senjata pemungkas Nathan yang mencuri perhatian.

Rian menoleh ke arah Tia sesaat. Kebetulan, mereka masih terjebak macet sebelum masuk jalan tol. "Polos sama jujur? Ya bisa jadi. Kalo lu liat sampe sekarang, selain itu apa lagi yang disukain si Jessica?"

"Gak tahu. Ya kayak waktu itu gua cerita aja. Dibanding sama cowok-cowok yang pernah dia suka, termasuk Steven, mereka kebalikannya Nathan. B-A-N-G-E-T," eja Tia perlahan-lahan.

"Bukan nyari yang ganteng atau humoris lagi ya sekarang? Terlalu polos dan jujur itu kriteria utama kekinian?"

"Feeling gua aja Yan.." Tia menaikkan kedua bahunya. "Seumuran kita sekarang, makin susah gak sih cari yang jujur banget?"

"Hmm," Rian hanya bisa mendeham mendengar yang Tia diungkapkan Tia barusan.

"Kenapa 'hmm' doang?"

"Gua lagi mikir, menurut gua ada benernya kata lu barusan."

"Nah kan! Tanpa bermaksud sok tahu ya, misal lu nih, mungkin ada rahasia yang lagi lu simpen, dan gak mau dikasih tahu ke orang lain secepet itu kan?"

Deng! Serentak kalimat tersebut mengetuk batin Rian. Belakangan ini memang dia sedang punya pekerjaan yang menuntut dia untuk bisa menjaga rahasia. Apalagi, pekerjaannya menjadi bagian dari sebuah kebohongan.

Bibir Rian dimanyunkan. Pikirannya kini bercabang-cabang. Vanessa punya rahasia besar dan agenda balas dendam. Wira mau membantu Wanda untuk menjauhi seorang laki-laki. Surya? Jarang sekali menceritakan kisah asmaranya.

"Hahaha tegang banget lu! Santai aja. Maksud gua.." nada bicara Tia perlahan melambat. "Semua orang punya rahasia sih.., termasuk gua juga."

Pembicaraan jadi canggung. Rian meneguk sesuatu ke kerongkongannya. Tidak mau lagi membahas rahasia-rahasiaan. Ini terlalu berbahaya baginya. Dia alihkan ke topik pembicaraan lain.

"Gimana tadi menurut lu? Seru permainannya?"

"Hm? escape room?"

"Iya."

"Hmm. Seru kok. Gua suka kalo kayak puzzle-puzzle gitu."

"Lu sebelumnya pernah main?"

"Enggak. Baru pertama kali kok tadi."

"Gila. Baru main pertama kali, tapi lu udah jago banget ya?"

"Ah enggak! Hoki doang!"

Pujian Rian membuat pipi Tia sedikit merah merona. Senang rasanya. Dibuat seperti melayang. Batinnya langsung menampar pipinya agar segera tersadar. Tersadar, saat ini dia sedang berduaan saja di mobil.

Lihat selengkapnya