Kondisi dan Syarat Berlaku

Rit Ardit
Chapter #22

21 - Konsekuensi

Mudah bagi Surya untuk selalu positif sambil menyebut mantranya; 'percaya sama Surya', namun tidak untuk Rian. Menampung satu rahasia dari Vanessa saja sudah berat, apalagi sekarang dibebankan oleh sejarah yang mengejutkan dari Felis.

"Lu ngantuk Yan?"

"Hm."

"Jangan tidur hei! Gua bukan supir pribadi lu."

"Gak ngantuk," suara Rian lemas. "Capek.."

"Ngotot banget sih udah gua bilangin jangan overthinking! Bentar lagi selesai kan? Felis married, kan kelar tuh! Terus si Vanessa, pas urusannya udah kelar, lu dibayar, yeeeyy.. seneng dong? Ya setelahnya sih terserah, mau lanjut temenan, pisah, atau ehem ehem.."

"Lu ngomong gampang banget Sur, tapi pernah gak sih lu ngerasain beban pikiran gua?"

"Ya.. belum... Sori Yan. Cuman gua tanya sekarang, kenapa harus dipikirin banget kayak gini?"

Rian menghela napasnya sebentar. Dia coba meluruskan pikiran, mengatur emosinya. "Apa iya, zaman sekarang mau jujur itu susah dan konsekuensinya berat banget?"

"Konsekuensi berat banget?"

Rian akhirnya mengatur postur tubuhnya. Kepalanya yang sebelumnya bersandar ke arah jendela mobil, kini dia tegakkan. "Ya kayak.. gua ngebantuin Vanessa buat ngebohongin Steven nih, tapi kalau ternyata Felis juga tahu rencana kita? Gimana perasaan Felis? Sebaliknya nih, gua diminta rahasian si Felis hamil, kalau ternyata Vanessa jadi tahu? Gimana perasaan Vanessa? Apa gak mereka bisa jadi saling sakit hati?"

"Kan lu yang ngomong sendiri, bohong sama gak ngasih tahu itu beda tipis, tapi lebih mending gak ngasih tahu? Selama ini yang lu lakuin, ya simply gak kasih tahu ke orang-orang lain, kan?"

"Fine! Gua mau tarik kata-kata gua waktu itu. Dulu gua terlalu naif!" Rian membasahkan kerongkongannya terlebih dahulu, sebelum lanjut menuangkan kegelisahannya.

"Sekarang itu kalimat klise yang najis. Dulu gua masih bisa ngomong kayak gitu karena gua ngerasa gak bakal ngelibatin banyak orang. Apalagi rencana Vanessa yang kelihatannya simpel, ya gua ikut-ikut aja berharap semuanya bakalan lancar. Coba kalo sekarang? Ya bikin gua kepikiran lah! Kalau rencananya gagal? Kalau sampai orang yang seharusnya gak tahu, jadi pada tahu kebenarannya? Mau berapa banyak lagi orang yang perasaannya jadi sakit?"

Rian menghela napas. Walau belum lega rasanya, tapi setidaknya secuil dari unek-uneknya sudah dia tumpahkan.

"Well Yan.. gua ngerti apa yang jadi kegelisahan lu sekarang.." Surya berusaha menenangkan orang di sebelahnya. "Mungkin saran gua terdengar klise ya Yan.. tapi.. pada akhirnya kita cuman bisa ngelakuin yang terbaik menurut kita. Sisanya, ya.. kita harus pasrah gak sih? Toh kita juga gak bisa ngendaliin perasaan orang. Apa lagi cara pikir mereka?"

"Hmm.."

"Iya, mungkin orang akan kesel kalau tahu ternyata dia habis dibohongin. Tapi seandainya mereka mau lebih dewasa sedikit aja, lebih bijak. Jadi orang yang mau ngertiin kasusnya dulu gitu, ngerasain posisi orang yang gak bisa jujur ke dirinya?"

"Hmm.. hmm.."

"Karena menurut gua, kadang ada orang yang terpaksa berbohong, gak jujur, atau gak ceritain semuanya, ya karena sebenernya mereka yang lagi sakit hati. Apalagi kalau ternyata dia itu orang yang paling bisa ngerti situasi dan sifat orang lainnya. Kayak Vanessa? Ya karena dia ngerti banget sifatnya si Steven kan? Makanya satu-satunya cara supaya bisa dapetin perhatian Steven, ya nge-hire elu? Justru posisinya beruntung banget dia ketemunya orang kayak lu, rencananya hampir berhasil. Kalau orang lain? Belum tentu loh."

"Hmm, ya.."

"Nah, terus juga si Felis. Bisa kejadian kayak gitu. Ceritanya ke kita. Dia percayain gitu aja, mungkin dia merasa, kita orang yang sense of responsibility-nya tinggi. Kita dapet tanggung jawab besar loh. Jangan merasa terbebani dulu Yan, menurut gua ya. What if, dengan dia cerita, sebenarnya dia sekadar butuh teman ngobrol. Sukur-sukur kalau nantinya kita bisa bantuin dia karena kita udah tahu apa yang dia udah alamin? Ngaku MBA itu menurut gua sih susah banget. Kebayang gak dia ngaku ke orang yang salah? Dicaci habis dia, bisa stress. Yah ini sih perspektif dari gua ya. Gua gak tahu lu cernanya gimana, tapi gua percaya sama lu, lu orangnya cukup bijak. Lu cuman lagi kecapean aja sekarang, makanya kusut mikirnya."

Gantian kini Surya yang meneguk air mineral di botolnya. Dari tadi dia menceramahi Rian dengan kalimat-kalimat panjang.

"Even diri lu sendiri, rela jadi pacar sewaan, demi bantu pengobatan nyokap, kan?"

TRUTUT!

Gawai Rian berdering. Belum selesai berbincang dengan Surya, perhatiannya teralih. Dari Nathan. Rian memandang Surya. Surya berbalik memandanginya. Aneh. Hari sudah larut malam, kenapa lagi Nathan tiba-tiba menelponya.

"Halo Than? Kenapa?"

"Yan! Ada kabar bagus banget Yan!"

"Ya? Kabar apaan?"

"Jessica! Dia ngajakin ketemuan sama gua. Sama lu juga, sama Tia."

Rian menjauhkan telinganya beberapa sentimeter dari alat komunikasinya. "Lah, maksud lu?"

"NGAJAKIN KETEMUAN YAN! Kali ini dia yang ngajak ketemuan sama gua duluan! Kabar bagus dong?!"

Rian menambah jarak antara telinga dan gawainya. Girangnya Nathan terlalu nyaring, Surya saja sampai bisa mendengar kalimat terakhirnya.

"Errmm.. oke.. terus kapan ketemuannya?"

"Enggak besok kok Yan, tenang aja. Kali ini enggak mendadak. Minggu depan! Boleh pilih hari nih. Kalau lu, bisanya hari Sabtu? Atau Minggu?"

Rian terheran-heran. Giliran Jessica ajak dia, dia rela korbankan hari Sabtunya. Katanya setiap hari Sabtu, Nathan kelelahan setelah bekerja membantu bokapnya? Dasar teman yang aneh.

"Minggu depan? Harus gua banget yang ikut lagi?"

"Iya Yan! Kan gua udah bilang, si Jessica yang minta! Sama lu udah cocok kali obrolannya? Dibisain ya Yan? Please?"

Rian sudah lemas, "Yaudah, nanti gua cek jadwal, terus gua kabarin deh ya."

"Yes! Thanks banget Yan!"

Tanpa membalas pesan Nathan, dia tutup gawainya.

"Dih? Ditutup gitu aja Yan?" Surya kaget dengang tingkah temannya.

"Capek gua Sur, mau cepetan istirahat."

Lihat selengkapnya