Kondisi dan Syarat Berlaku

Rit Ardit
Chapter #25

24 - Dipercaya

"Sorry ya Van. Gara-gara gua, acara liat-liat rumahnya jadi batal," Rian meminta maaf kepada Vanessa. Walau bagaimanapun, Rian merasa bersalah. Kebutuhan Vanessa mencari inspirasi jadi tidak terpenuhi.

"Enggak lah.. gak apa-apa Rian. Itu kan cuman sambil jalan-jalan iseng," balas Vanessa menghibur Rian agar tidak menyalahkan dirinya sendiri.

"Yan.."

"Hmm?" deham Rian pelan.

"Gua udah diceritain tentang nyokap lu.. dari Shania," Vanessa membuka topik pembicaraan di perjalanan pulang ke rumahnya.

Di malam itu, walau banyak mobil yang berlalu-lalang, rasa-rasanya suasana tetap saja sunyi. Rian sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Sedangkan, Vanessa penasaran dengan sejumlah pertanyaan.

"Iya tahu," jawab Rian pelan tanpa menolehkan kepalanya. "Shania pasti cerita."

"Lu enggak apa-apa? Gua jadi tahu?"

"Gak apa-apa."

"Hmm.. sejak kapan.. nyokap lu Alzheimer?"

"Udah lama. Sebelum gua mulai kuliah yang sekarang. Sebelum Sahabat Seduh buka."

"Kenapa lu gak pernah bahas ini?"

Rian menoleh sesaat ke arah Vanessa. Benar. Dia melihat wajah Vanessa seperti mengasihani Rian. Dan dia kurang suka diperlakukan seperti itu.

"Ya karena emang gua gak pernah mau bahas," jawabnya sambil berusaha mengulum senyum. Senyum kecut.

"Hmm.. oke.." Vanessa berusaha memahami Rian. Vanessa baru pertama kalinya melihat gelagat Rian yang seperti sekarang. Agak menghindar.

"Maafin juga ya, kalau tadi kakak gua ngomongnya kasar."

"Iya.. gak apa-apa kok," jawab Vanessa. "Gua.. udah denger.. cerita singkatnya dari Shania."

Setelah merapikan rambutnya, Vanessa lanjutkan usahanya untuk menenangkan Rian. "Semoga lu selalu sabar ya Yan. Gua tahu lu udah melakukan yang terbaik. Usaha lu gak setengah hati."

Rian mengernyitkan alisnya. Bingung dengan gaya kalimat yang jarang digunakan oleh Vanessa seperti barusan. "Iya Van, thanks."

"Kakak lu cuman stress aja. Pasti gak enak juga jadi dia, kadang-kadang gak dikenalin sama nyokapnya sendiri."

"Iya Van, tapi sori.., boleh gak, gak lanjut bahas keluarga gua dulu?"

"Sori Yan. Gua gak maksud," jawab Vanessa pelan. "Tapi.. semisal lu mau jujur ke gua di awal, mungkin gua bisa bantu ngeringanin masalah lu."

"Kenapa lu gak ngomong itu aja ke diri lu sendiri dulu?" tanya Rian dengan nada bicaranya yang mulai menanjak.

Vanessa sepertinya sudah salah menekan tombol emosi Rian. "Maksud.. lu?"

"Iya. 'Jujur di awal', biar masalah lu jadi lebih ringan."

"Kok.. jadi.. gua? Hubungannya apa?"

"Coba aja lu pikirin, semisal di awal lu jujur sama Steven, lu bilang masih sayang, ngomongin baik-baik? Gak bakalan kayak sekarang kan jadinya?"

Vanessa terdiam. Benar. Kenapa dia bisa menceramahi orang lain untuk terbuka, padahal dirinya terkadang tertutup. Merahasiakan ini dan itu. Memperkeruh keadaan.

"Maaf Yan... Mungkin lu lagi banyak pikiran makanya lu ngomong kayak gini," Vanessa mulai berhati-hati dengan kata-katanya. "Oke, kita bahas selain dari keluarga lu ya? Ada masalah lain apa yang lagi lu alamin? Yang ganggu pikiran lu?"

Rian semakin kesal. Beban pikirannya sudah tidak tertampung. "Gua kesel aja sama banyak orang. Hampir semua suka seenaknya ya sekarang-sekarang ini. Padahal gak tahu kejadian sebenarnya, mereka kadang nuntut, bertindak semaunya, dan gak tahu batas!"

"Wew.. siapa aja.. kenalan lu.. yang kayak gitu?"

"Plis lah Van. Gua udah bilang 'hampir semuanya'. Perlu gua sebutin satu-satu?"

"Ya.. kalau bisa bikin lu.. lebih tenang? Kenapa enggak?"

"Okeh! Lu contohnya!" jelas Rian seraya mengeluarkan urat-urat di wajahnya. "Gak usah orang lain dulu, lu merasa gak?"

Vanessa terbelalak. Rian? Kesal dengan dirinya? Kenapa? Namun emosi Vanessa tidak terpancing. Dia berusaha memahami Rian yang sudah dianggap sebagai salah satu orang yang dipercayainya.

"Ermm.. gua ada salah apa.. sampe lu jadi kesel sebegininya?"

"Gak sadar juga lu? Tadi pas di rumah sakit apa itu? Lu masih sempet-sempetnya nge-upload foto ruang rawat nyokap gua di sosmed. Apa itu namanya bukan seenaknya?!"

Lihat selengkapnya