KONFESI

Afra Ulfatihah N.E
Chapter #1

Prolog

Aku berusia tujuh belas tahun ketika ini semua terjadi. Duduk di kursi deretan depan dengan mengenakan pakaian dan sepatu pantofel serba hitam, aku tidak mendengarkan konversasi yang sedang berlangsung dengan saksama. Dua pertiga masih tertinggal di pusara kedua orang tua, sedangkan sisanya berkelana pada dia yang tengah hancur dan terpuruk. Dia yang sejak sepekan silam tak kuketahui rimbanya. Dia yang sengaja disembunyikan agar tidak membuat busuk nama keluarga. Sebegitu hinanya memang, padahal tak seharusnya segenap kesalahan dilimpahkan padanya. Andai kala itu ayah mampu sedikit menyurutkan murka yang membara, beliau mungkin akan mempertimbangkan rasionalisasi yang kucurahkan dengan penuh air mata; bahwa aku pun salah. Bahwa sejatinya aku yang pantas untuk ditampar dan asingkan, bukan dia. Bahkan, demi menjaga nama baik keluarga, agenda yang bernama persidangan ini dilaksanakan dengan amat tertutup dan hanya dihadiri tiga orang luar: aku, bibi, beserta anak perempuan bibi yang lebih muda empat tahun dariku. Kemudian ada para penegak hukum dan polisi, juga tentu saja, si terdakwa biadab. Lantas di mana pihak keluarga terdakwa? Semuanya berlindung di balik kalimat ‘tidak ada waktu karena sibuk bekerja’. Padahal, telah menjadi rahasia umum bahwa orang tuanya tak sudi mengakui anaknya yang bejat, sedangkan sanak saudara yang lain tak mau ikut campur dengan dalih, sekali lagi, menjaga nama baik keluarga.

Fokusku perlahan kembali ketika hakim memutuskan hukuman yang pantas bagi si terdakwa. Ia dijatuhi pidana penjara selama sepuluh tahun yang —kata hakim— sesuai UU No. 23 Tahun 2002 pasal 81 Ayat 1 tentang Perlindungan Anak. Menurut orang awam sepertiku, sepuluh tahun bukanlah hukuman yang sepadan atas luka berdarah yang telah pelaku torehkan pada korban. Terlebih luka tersebut tidak hanya menyakiti korban, tetapi juga mencabik-cabik perasaan keluarga korban terutama ayah dan ibu, orang tua kami. Bunyi nyaring ketukan palu sebanyak tiga kali menggema di seluruh penjuru ruangan. Para kalangan elit beranjak dari singgasana kebesaran, satu-persatu lesap di balik pintu keluar khusus. Kulihat ia, si terdakwa, bangkit dari kursi pesakitan seraya menekuk wajah. Beberapa polisi yang bertugas lekas menyematkan borgol di kedua tangannya dan menggiringnya meninggalkan ruang sidang. Arah pandangku tak lepas dari sosoknya yang berjalan sembari menunduk dalam; pasrah akan dibawa ke mana oleh polisi. Tidak pernah terbersit dalam benak bahwa kisah aku dan dirinya bermuara di tempat mengerikan seperti ini. Tidak pernah kusangka bahwa segala kenangan yang kami —aku dan dirinya— ukir justru menjadi sejarah yang ingin kukubur jauh di dasar ingatan. Bahkan, nama dan wajahnya tak lagi sudi kusimpan dalam kepala.

Kurasakan kehampaan di sebelah kananku. Bibi tiba-tiba berdiri dan menyusul iring-iringan tadi. Aku dan anak bibi —yang selalu mengenakan kardigan rajut kemana-mana— sejemang saling melempar tatapan bingung, kemudian kami pun mengejarnya.

Lihat selengkapnya