Istilah decluttering mungkin sudah tidak asing terdengar. Pada era digital, informasi bergerak per sekian detik sehingga kita bisa mengakses hampir semua hal melalui jaringan internet, termasuk informasi mengenai konsep decluttering.
Kata decluttering tidak jauh-jauh dari istilah clutter.
Clutter itu apa? Dari segi bahasa, clutter bisa diartikan sebagai ‘kekacauan, kekusutan, kebisingan, atau keributan’. Clutter mengindikasikan sesuatu yang tidak rapi, tidak nyaman, tidak enak dilihat, dan tidak menyenangkan. Lebih dalam lagi, clutter bisa merupakan sesuatu yang mengganggu perasaan dan emosi. Clutter dapat berbentuk benda-benda, pengalaman, pekerjaan, hubungan sosial, budaya digital, perasaan, dan pikiran. Nah, declutter adalah kebalikan dari clutter, yaitu berusaha untuk memangkas, menghilangkan, atau mengurangi clutter agar semuanya menjadi tertata rapi dan nyaman di hati.
Nah, buku ini membahas clutter yang berupa benda-benda yang berserakan, berceceran, tidak rapi, dan tidak menyenangkan, baik pada saat dilihat oleh mata maupun dibawa oleh perasaan.
Mengapa perlu decluttering?
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita sepakati dulu sama-sama bahwa clutter itu mengganggu.
Berikut beberapa poin penting alasan kuat kita perlu melakukan decluttering (diringkas oleh tim pemateri di Komunitas KonMari Indonesia):
1. Clutter dapat menyebabkan stres dengan cara meningkatkan hormon kortisol dan membuat otak mengasosiasikan clutter dengan kegagalan (UCLA).
2. Stres akibat clutter dapat meningkatkan nafsu makan hingga menaikkan berat badan (Peter Walsh).
3. Sebuah studi neurosains menyebutkan bahwa lingkungan yang banyak clutter dapat menyebabkan tubuh selalu merasa lelah dan sulit untuk fokus.
4. Clutter dapat mengganggu kemampuan berpikir dan pengambilan keputusan.