Konsonan Cinta yang Kehilangan Vokalnya

Muhammad Arief Rahman
Chapter #1

PROLOG

Apakah ada dari kalian yang mempunyai nama tanpa huruf vokal? Jika ada, maka kalian sama saja dengan kisah romansa yang hanya tersematkan huruf konsonan belaka. Tak dapat dibaca. Tiada bunyi, terasa mati.

Cinta tidak melulu soal gembira, tak selalu tentang ceria. Adakalanya ia butuh sedih dan duka cita, agar tahu makna sejati bahagia.

Tentang konsonan yang kehilangan vokalnya.

Tentang rasa yang kehilangan asa.

Tentang sesal yang begitu menghalwa.

Tentang dia, selalu dan selamanya.

 

* * * * * * * * * *

 

Aku adalah seorang Pegawai Negeri Sipil di sebuah kantor Kecamatan di daerah Kabupaten Kota Bengkulu. Tepatnya Kecamatan Gading Cempaka. Jika kalian tak tahu, sungguh keterlaluan! Karena di daerah sekitar situlah letak rumah pengasingan Presiden pertama kita, Bung Karno.

Puji syukur atas Tuhan yang memberikan kemudahan atas karier kerjaku yang terus gemilang. Akhir pekan lalu aku di beri amanah untuk menjadi Wakil Camat.

Kabar baik, sekaligus kabar buruk. Apalagi di masa wabah pandemi virus korona yang tak kunjung sudah ini, pasti selalu dituntut untuk kerja extra. Di mana ada halangan bagi Pak Camat, di situlah aku mendapatkan mandat.

Dan sebenarnya kinerjaku lebih banyak ketimbang Pak Camat yang sekedar duduk rapi di ruangan miliknya, menyeruput kopi sambil menandatangani berkas yang tak seberapa. Ah, enak sekali dirinya. Tapi aku segera menepis prasangka tersebut. Karena aku sudah cukup bersyukur menjadi second person. Tak apalah.

Dari dulu aku memang menginginkan profesi ini. Jangan tanya kenapa cita-citaku tak sebesar kalian, karena aku mencoba untuk realistis. Tidak penuh khayalan seperti kalian.

Lucu saja jika aku melihat generasi penerus bangsa ini. Punya impian yang tinggi, namun malas melakukan eksekusi. Takut dengan konsekuensi. Yang berujung pada pengandaian tanpa arti, halusinasi.

Wahai generasi bangsa! Jika saat ini cita-cita yang kalian damba semisal menjadi dokter, polisi, atau mungkin pengacara, tapi lemah akan usaha. Boleh jadi ketika kalian sudah beranjak dewasa, cita-cita itu menjadi sekedar mengenyangkan perut belaka. Demi sesuap nasi yang tak seberapa, sungguh malang nasibnya.

"Pak Adnan, kapan nikahnya?" Pak Camat tiba-tiba menanyakan hal itu untuk ke sekian kalinya, di sela jam istirahat tentunya.

Ya, aku yang dengan segala kemapanan pekerjaan dan sudah mencapai kematangan berpikir ini masih belum menemukan orang yang cocok untuk menjadi pendampingku.

Lihat selengkapnya