Tepat pada pukul tujuh pagi aku sudah selesai mandi dan sarapan, satu jam lagi tersisa untuk berangkat ke kantorku yang berjarak lumayan jauh dari rumah. Jadi, aku lebih sering menggunakan mobil.
Aku memang terbiasa untuk bangun menjelang subuh sejak duduk di bangku SMP, karena saat itu aku dimasukkan ke pondok pesantren oleh orang tuaku. Kalau kau sedang berada di Kota Bengkulu, mampirlah sejenak ke sana. Lokasinya tak jauh dari Universitas Bengkulu. Namun harap maklum, jika pemandangan yang indah masih terbentang luas di sekitarnya. Hutan lebat di sekelilingnya, tampak asri nan alami.
Bahkan pernah saking alaminya pada suatu malam saat aku dengan teman-temanku kebagian jatah ronda, segerombolan babi hutan berkulit hitam legam macam arang lewat dengan santainya persis di hadapan kami berjaga. Seperti sebuah keluarga yang hendak mudik lantaran hari raya saja, dua ekor babi besar betina-jantan berada di depan dan babi-babi mungil mengikuti dari belakang. Berbaris rapi dan bersenandung ria bersama. Amboi.
Singkat cerita, setelah lulus SMP di pondok pesantren yang dianggap sebagian orang amat sangat terbelakang pendidikan umumnya terutama di bidang sains dan matematika. Aku putuskan untuk melanjutkan sekolah ke pulau jawa, tepatnya di Kota Solo. Pondok Pesantren yang amat sangat menekan para santrinya untuk menjadi generasi saintis dan melek terhadap perkembangan zaman. Jadi jangan heran saat tahu kami lebih mengusai bahasa inggris ketimbang bahasa arab. Bukannya kami pemuda muslim yang sekuler, tapi berusaha untuk jadi ujung tombak dalam hal teknologi dan sains. Ini semua semata-mata demi membungkam prasangka atas mereka yang hanya memandang santri dengan sebelah mata. Orang-orang seperti inilah yang kubenci, selalu meremehkan dengan tatapan mata sinis seolah mereka adalah yang paling berhak untuk melakukan eksekusi.
"Pagi, Pak Adnan," sapa salah seorang staf kantor yang melambaikan tangannya padaku, ia baru tiba dan mengisi daftar hadir di depan ruanganku. Sekarang absen di kantor kecamatan sudah menggunakan sidik jari, jadi jangan harap bisa membolos dan mendapat gaji buta dengan kerja berleha-leha. Bahkan orang seberkuasa Pak Camat pun harus patuh dan membiasakan diri untuk berangkat pagi. Akulah orang yang mengusulkan ide ini, cukup praktis dan efesien.
"Pagi juga, Pak," sahutku seraya membalas lambaian tangannya.
Sesudah apel pagi rutin seperti biasanya, kegiatan kami berjalan seperti biasanya. Tanpa ada kendala satu pun, hingga pagi yang indah dan tenang ini dirusak oleh kejadian paling memalukan terkait kecurangan pihak karyawan. Sekaligus menjadi pertemuan pertamaku dengan seorang perempuan yang sukses membuat hatiku tertawan.
* * * * * * * * * *
"Ada apa ini?!" seruku yang langsung membuka pintu ruangan bagian pengurusan KTP yang sedari tadi terdengar ribut dan berujung pada bunyi gelas kaca yang pecah.
Aku segera bergegas masuk ke ruangan itu dan mendapati perempuan muda berhijab tengah menunduk di hadapan Pak Malik yang bertugas mengurus berbagai macam keluhan terkait masalah KTP. Hampir saja aku menginjak pecahan gelas kaca yang berserakan tepat di depan pintu.