Mungkin saat ini aku sedang tak begitu fokus dan serius mengikuti rapat yang rutin digelar setiap minggu di kantorku. Kali ini sedang membahas New Normal, yakni cara hidup baru di tengah pandemi virus yang angka kesembuhannya makin meningkat. Sayangnya pikiranku sedang melalangbuana kemana-mana. Sudah berulang kali Pak Budi menepuk pelan pundakku, menyadarkan diriku yang sedari tadi tak kunjung berhenti melamun.
"Anda baik-baik saja, kan?" bisik Pak Budi pelan.
Aku mengangguk, pikiranku benar-benar tidak bisa dipaksa khusyuk untuk menyimak rapat kali ini. Ada saja yang membuatku merasa overthinking. Memikirkan yang tidak-tidak, terlalu berlebihan.
Sayangnya hal yang membuatku hanyut dalam lamunan hanya satu. Berulang-ulang dalam berjalannya waktu. Menjadikanku ingin lebih dari sekedar tahu. Perempuan berhijab itu, pertama kali yang terpikir sejak bangun dari tidurku.
* * * * * * * * * *
"Pak, ini kita mau kemana ya?" tanyanya yang sejak tadi tampak begitu cemas dan gelisah.
Apa aku membuat kesalahan yang menjadikan dirinya resah? Dia terlihat tak nyaman berada di dekatku sejak masuk ke dalam mobil, menuju restoran yang sudah lama jadi langgananku.
"Tenang saja, Mbak. Saya tidak akan berbuat macam-macam, kok. Nah, Sebentar lagi kita sampai." Aku menjawab santai untuk meyakinkannya.
Semenit kemudian, kami tiba di restoran yang menyediakan berbagai macam jenis penghuni laut. Resto Huang Seafood, begitulah namanya. Konon restoran ini didirikan oleh orang Taiwan yang tertarik membuka bisnis kuliner di Bengkulu. Letaknya tak jauh dari bibir Pantai Panjang, amat strategis.
Pemandangan langit fajar dan senja terlihat amat mempesona dan menakjubkan dari sini. Ketika siang pun selalu terasa nyaman, semilir angin yang menenangkan. Apalagi sambil mencicipi kuliner khas Bengkulu dengan aroma bumbu yang begitu menggoda, membuat wisatawan lokal maupun asing menelan ludah begitu melihatnya.
"Ada banyak sekali yang ingin saya bicarakan dengan anda," kataku sambil menatap lekat gadis ini, "tentang Pak Malik."
"Silahkan, Pak."
Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap menjelaskan maksud diriku mengajaknya makan siang bersama. Ah, tidak. Berdua, secara empat mata saja. Hal ini sudah sering kulakukan untuk melindungi citra kepegawaian kantorku.
"Begini, saya hanya meminta anda untuk tidak membocorkan kejadian tadi kepada publik. Terutama pihak kepolisian, biarkan saya dan Pak Camat saja yang mengurus perihal pelanggaran kasus kecurangan ini dengan cara damai. Jadi ...."
"Tidak bisa!" potongnya dengan sedikit penekanan, "saya berhak menuntut Pak Malik atas dasar uang ilegal itu!"