Bukan sebuah kesalahan jika tertarik dengan orang yang bisa membuatmu mendapatkan pengetahuan baru. Tak perlu kuberi tahu pun, kau pasti mengerti maksudku. Jangan salah paham, karena dunia bukanlah drama korea yang sedikit-sedikit soal cinta. Silahkan ambil hikmahnya saja, tak perlulah sukar menerka.
"Pak Adnan, bagaimana anda menyikapi Pak Malik ini soal tindakan curangnya tempo hari? Anda sudah bicara dengan orang itu?"
Baru saja diriku duduk dan menghela napas sejenak di ruanganku, tiba-tiba Pak Camat masuk dan menanyakan masalah itu. Aku segera berdiri dan dan menyambutnya dengan membungkukkan badanku. Menaruh hormat kepada pemimpin sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil. Meski perlakuanku sering dianggap berlebihan oleh banyak staff dan pegawai lain di kantor.
"Saya tidak berhasil melobi gadis itu, Pak. Jujur saja, dirinya memiliki prinsip dan pendirian yang kukuh. Mungkin kita tak punya pilihan lain selain mendeportasikan Pak Malik dalam kurun waktu secepatnya." Aku menjelaskan apa adanya tentang pembicaraanku dengan Imelda kemarin.
"Huftt ... Tidak adakah cara lain? Pak Malik itu masih terhitung kerabat jauh saya, belum lagi relasi dan kenalannya yang cukup banyak di kepolisian." Raut muka Pak Camat terlihat serius, dahinya mulai berkerut.
"Saya tahu, Pak. Tapi ini sudah di luar jangkauan saya. Sudah jelas kalau yang bersalah itu Pak Malik. Menurut saya, gadis malang itu sudah melakukan tindakan yang tepat. Jika kita tidak tegas menindak Pak Malik, gadis itu yang akan menuntut sendiri ke pengadilan dan merusak citra kantor kita. Dan nanti berimbas pada seluruh pegawai yang ada, termasuk anda!" sergahku dengan penuh penekanan.
Aku heran, kenapa masalah ini kian terasa pelik? Apa susahnya memecat Pak Malik yang sudah terpampang jelas kecurangannya? Itulah konsekuensi yang paling ringan, beruntung kasus ini tidak sampai ke pengadilan daerah.
"Mendepak Pak Malik dari sini tak semudah yang anda kira. Saya tahu diri anda sangat menjunjung tinggi soal idealisme, tapi mohon sesuaikan dengan kondisi yang ada." Pak Camat menghela napas sejenak lalu beranjak pergi.
Cukup. Sekarang aku sudah muak dengan perangai manusia di negeri ini, memendam kebenaran rasanya seperti membuang harga diri. Harus segera ditegaskan sejak dini. Sebelum semua pegawai yang masih memiliki nurani tak kehilangan jati diri.
"Selama ini, saya pikir Bapak adalah orang yang berpendirian dan punya mental lelaki sejati." Aku mengatakannya sambil mengepalkan tangan, begitu geram menerima keputusan.
"Oh jadi begitu ...." kata Pak Camat yang seketika itu membalikkan badannya, "Adnan, berapa umurmu sekarang?"
"Eh ... dua puluh tujuh, kenapa?" Tentu saja aku bingung mendapati Pak Camat yang bertanya demikian.
"Kau masih sangat muda ... saat seumuranmu, aku juga kagum dengan orang-orang idealis yang berprinsip." Pak Camat menghela napas sejenak, berusaha menyusun kata-kata. "Tapi semakin aku menua, semakin aku sadar dengan satu hal ... Bahwa dunia tidak ramah pada orang-orang yang terlalu lurus. Kecuali mereka mau belajar untuk bengkok dan lentur sedikit. Mereka seperti sebatang lidi yang mudah patah."