Gerimis membasahi jalanan Kota Bengkulu. Tak begitu basah, cuma rintik-rintik kecil yang luruh dan jatuh ke permukaannya. Aku melangkah terburu-buru mengikuti Imelda yang sepertinya mempunyai masalah mendesak, sedari tadi kulihat raut wajahnya tampak kusam.
Jangan sekali-kali kau tanya kenapa Imelda bisa berjalan layaknya orang normal. Lihatlah kini, justru dia yang menuntunku menyebrang jalan! Tepat, kondisi kami berdua seakan diputar balik.
Dia menggandeng tanganku dan menggengamnya dengan erat, seraya memberi isyarat ke arah kiri dan kanan. Melintasi zebra cross yang warnanya sudah mulai pudar, tak kelihatan. Sekali lagi aku dibuat heran, bagaimana gadis ini tahu letaknya? Secara akurat pula.
Harusnya aku yang membantunya untuk sampai ke sebrang jalan depan restoran, tapi karena aku yang bingung dengan keadaan terpaksa mengikuti kemana langkah kaki Imelda membawaku dengan paksa.
"Imelda ... ada apa ini sebenarnya?" tanyaku setelah tiba di lokasi yang tak begitu ramai. "Di luar sini hujan, nanti kamu malah sakit.,"
"Hanya sebentar, nanti kita kembali ke sana. Dengarkan aku, Adnan ...." Imelda bersiap menjelaskan, tampaknya ia memang sangat membutuhkan bantuanku kali ini.
"Tolong aku ...."
Setelah mengucapkan kalimat pertama itu, Imelda terdiam beberapa saat sebelum meneteskan air mata yang membuatku trenyuh tatkala melihatnya. Meluncurlah cerita pilu dari seorang wanita tunanetra yang tak jauh beda dengan kisah sendu ala Siti Nurbaya yang sejak zaman dahulu kala.
Gadis malang ini sedang merasa dilema oleh keputusan yang bahkan ia tak mampu untuk sekedar memilih. Aku seharusnya tak pernah dibolehkan masuk ke dalam 'dunia' milik Imelda dan keluarganya, karena kami amat sangat berbeda.
Tapi aku yang dengan segala rasa kasihan dari suara hati yang terdalam, memilih menyuarakan atas dasar hak asasi kemanusiaan. Padahal ia sama sekali tak memiliki pilihan. Ini membuka kisah antara aku dan dia dengan segenap beban disertai cobaan, pun dengan sederet angan dan perbedaan.
* * * * * * * * * *
Sekumpulan orang bermata sipit yang berkulit putih dengan baju Changshan dan Cheongsham, terlihat mewah dan sepertinya didesain kompak berwarna serba gelap masuk ke dalam restoran tepat pada saat aku dan Imelda kembali ke meja masing-masing. Bukankah pakaian khas mereka itu biasa dikenakan saat menyambut imlek? Tapi tampaknya mereka adalah sebuah keluarga besar Tionghoa yang datang untuk merayakan sesuatu. Yang kupertanyakan sejak tadi adalah ... Ada urusan apa mereka dengan Imelda?