Konsonan Cinta yang Kehilangan Vokalnya

Muhammad Arief Rahman
Chapter #7

F. TASYAKURAN

"Aduhai anak di dalam buaian. Pejamkan mata jangan tangiskan. Lagi berendoi kami dendangkan. Di dalam majelis tanda kesyukuran. Lamalah sudah kami menanti. Namun engkau tak kunjung tiba. Dengan takdir Ilahi rabbi, kini engkau sudah menjelma."

Akhirnya dendang untuk menyambut seorang buah hati yang sudah Icha nanti-nantikan selesai sudah. Kedua orang tua Icha yang berdomisili di Palembang, langsung datang jauh hari ke Bengkulu sejak seminggu sebelum kelahiran sang cucu.

Lihatlah, betapa gembiranya hati sepasang kakek-nenek yang sedari tadi tak sabar menggendong bayi itu. Cucu pertama mereka akhirnya resmi disambut oleh penduduk bumi.

Dulu aku sempat bertanya-tanya, kenapa harus repot-repot membuat sebuah acara penyambutan bagi seorang manusia yang tiba di dunia? Bukannya itu termasuk ke dalam bentuk kemubaziran? Sampai aku sadar kalau manusia adalah makhluk yang mulia, sama sekali berbeda dengan binatang yang ada. Ia tidak hadir begitu saja sebagaimana apel yang jatuh dari pohonnya.

Karena status mulia itulah maka kedatangannya mesti disambut dengan berbagai macam penahbisan yang telah dilakukan berabad-abad lamanya dan menjadi suatu tradisi yang tegak melintasi zaman. Begitu berarti dan mulianya manusia sehingga kehadirannya perlu disambut dan dipersiapkan.

Kawan, apa kau pernah mendengar kata 'penahbisan'? Bisa berarti rangkaian upacara dalam suatu masyarakat atau komunitas untuk meresmikan penerimaan seseorang ke dalam suatu struktur kehidupan. Meskipun penahbisan saat ini sudah mulai luntur dan terlupakan seiring berkembangnya zaman.

Di Sumatera, tradisi menyambut kelahiran anak lebih dikenal dengan istilah 'tasyakuran' yang bermakna: bersyukur atau berterima kasih kepada Tuhan. Meski sama-sama bertasyakur, penamaan dan cara dari tiap daerah memiliki perbedaan.

Kali ini, keluarga besar Icha sepakat akan menyambut kelahiran anggota barunya dengan tradisi Palembang, Sumatera Selatan, yang dikenal dengan sebutan 'menggunting'. Tradisi ini diisi dengan bercukur dan mendendangkan marhaban, akikah dan pemberian nama. Pada saat menggunting, akan terlihat bendera kertas yang berwarna-warni. Pada bendera ini dilekatkan uang, permen, atau telur.

Berbeda dengan zaman dahulu yang setelah kelahiran, orang tua dari pihak suami akan mengantarkan cupu-cupu kecil kepada istri dan anaknya. Cupu-cupu adalah tempat sirih yang di dalamnya tersimpan beberapa kain. Pengantaran cupu-cupu ini merupakan bentuk kegembiraan karena si buah hati telah lahir.

Acara di kediaman Icha dan suaminya tinggal berlangsung cukup meriah dan lancar, tanpa hambatan pastinya. Agung benar-benar suami yang bisa diandalkan, tak salah jika kedua orang tua Icha menjodohkan anak gadis semata wayangnya pada seorang pengusaha sukses seperti dia. Tengoklah, Icha tampak amat sangat bahagia sekarang.

Aku sempat heran, soal apa yang diharapkan oleh Icha dariku dulu. Aku yang hanya seorang pegawai negeri sipil ini merasa sangsi bersanding dengan keluarga terhormat macam Icha. Apalagi diriku sama sekali tak memiliki kerabat dan sanak famili, karena aku hanyalah anak angkat hasil adopsi dari sebuah panti pelosok negeri.

Sayangnya, aku hanya bisa merasakan bagaimana hangatnya sebuah keluarga di penghujung SMA. Saat itu aku telah kehilangan kedua orang tua angkatku sekaligus. Bertepatan dengan hari terakhir di mana aku menyelesaikan Ujian Nasional di sekolah. Dengan sebuah insiden menyakitkan yang takkan pernah bisa kulupakan, hanya mampu kusegel dengan kuat dalam kenangan.

Aku masih ingat bencana itu, terpampang jelas dalam memori ingatanku. Aku yang kembali sebatang kara, lantas harus berjuang mati-matian hingga bercucuran keringat dan air mata. Mencicipi berbagai macam beasiswa lalu bekerja membanting tulang dan tenaga. Dan sekarang berakhir pada status lajang menunggu jodoh yang entah kapan tibanya. Menyebalkan sekali rasanya. Terlalu fokus dengan kemapanan, sampai lupa mencari pasangan.

"Selamat, Cha! Awak lah jadi mamak kini, idak boleh manja lagi1. Hahaha ...." candaku sambil memberi selamat kepadanya.

"Terima kasih, Pak Wakil Camat yang baik. Awak nak cubo gendong anak ambo idak2? Nah, peganglah!" Icha menyodoriku bayinya yang masih sangat mungil dan merah itu, menawariku untuk menggendongnya sejenak.

"Idak usah3. Kalau jatuh kenai berang pulo kek4 Agung. Ambo belum pantas gendong bayi."

Lihat selengkapnya