Konsonan Cinta yang Kehilangan Vokalnya

Muhammad Arief Rahman
Chapter #12

K. HATI YANG GOYAH

Remang lampu di tiang listrik dekat rumahku tampak mulai redup, jalanan depan rumahku sedikit gelap. Sengaja tak kumasukkan mobilku ke dalam garasi. Mustahil malam ini aku bisa tidur pulas setelah mengalami kejadian di luar dugaan, melenceng jauh dari alur yang sudah ditentukan. Sepertinya aku merasa kalau Imelda mengalami perubahan yang sangat kognitif, terlalu agresif.

Aku mengartikan pernyataannya dengan jutaan prasangka duga, jangan-jangan hanya salah sangka. Pikiranku menerjemahkannya dalam berbagai logika, bisa jadi itu cuma humor sederhana. Masalahnya hatiku terlalu serius untuk diajak bercanda. Sesederhana apapun lelucon itu.

Genap sudah tiga tahun aku bekerja sebagai Wakil Camat Gading Cempaka, sekaligus menutup panggung sandiwaraku dan Imelda. Dengan akhir yang tak pernah kusangka. Anehnya saat sisi hatiku begitu gembira, sebagian hatiku justru menolaknya. Haruskah aku membalas pernyataan seorang wanita yang mengungkapkan rasa? Atau sekedar diam seolah tak pernah terjadi apa-apa? Ketakutan ini merupakan titik wajar bagiku yang baru saja mengalami jatuh cinta. Sebab beginilah adanya. Aku yang telah melajang sekian lama dan kini tengah memulai kisah romansa.

* * * * * * * * * *

Jam istirahat siang akhirnya tiba. Dalam kondisi perut keroncongan seperti ini merupakan isyarat tegas untuk melalangbuana ke pesisir pantai seraya menikmati suguhan laut di restoran biasanya. Tapi, mengingat serangkaian peristiwa dengan pemiliknya membuatku urung dan pasrah, mati langkah. Pak Tua Huang itu menjadi momok nomor satu jika aku nekat menginjakkan kaki ke restoran favorit itu. Ah, bahkan sekedar lewat di depannya saja aku tak akan berani.

Dengan berat hati, misi kepergianku dalam mencari makan siang kali ini tertuju pada kantin kantor yang ada di seberang jalan. Tak apalah, kelihatannya kantin tersebut cukup higienis dan ramai. Apalagi dengan harga dan lokasi yang terjangkau, murah dan dekat maksudnya. Lumayanlah untuk menekan seluruh pengeluaranku hari ini, hemat bensin pula.

Masuk ke kantin tersebut, aku disambut oleh sebuah parade 'ketidakramahan' kasat mata yang menurutku keterlaluan. Amat sangat berlebihan. Bayangkan, baru saja diriku hendak menikmati nuansa kantin yang ramai dan penuh hingar bingar itu, sontak keheningan melanda dalam sekejab. Berbagai macam tatapan mata, entah sinis atau jijik. Lengkap dengan ekspresi muka yang sengaja dibuat-buat bak lampu sorot yang langsung menerpaku seketika, begitu silaunya. Selera makanku yang tadinya menggebu-gebu mulai hangus menjadi abu. Menguap habis.

"Amboi, seorang Adnan Saputra yang agung akhirnya memasuki area makan pegawai jelata. Ada keperluan apa, heh?"

Aku menoleh ke belakang dan terkejut mendapati Icha yang membawa bungkusan plastik di tangannya. Senyum jahil milik Icha segera muncul. Sungguh sial bertemu dengan manusia satu ini.

"Hahaha ... Kenapa bengong, Nan? Mau ambo temani makan?" tawarnya sambil melirik jam tangan.

"Eh ... awak, kan, sudah makan."

"Masih banyak waktu, ayo ...."

Tanpa pikir panjang, Icha langsung menarik tanganku dan masuk ke kantin bagian dalam. Dan sambutan untukku di sini lebih menggelegar ketimbang di kantin bagian luar tadi. Lebih menggelora, tega betul Icha membawaku ke ladang para bedebah ini. Lancar sekali mereka berbisik-bisik ria, membicarakan keburukan orang lain tanpa jeda. Betapa malang nasib seseorang yang menjadi topik pembicaraan tak mengenakkan ini. Dan kenyataan pahit tersebut justru menimpa diriku. 

Icha membawaku ke arah meja paling belakang di sudut kantin. Alasannya cukup sederhana, karena di situ aku bisa menikmati suasana kantin ini dengan seksama. Memang demikian, sayangnya aku malah semakin tersudutkan. 

Lihat selengkapnya