Konsonan Cinta yang Kehilangan Vokalnya

Muhammad Arief Rahman
Chapter #14

M. CEMBURU BUTA

"Husna, ayo kita pulang. Mataharinya sudah mulai panas, nih."

Aku menarik tangan Husna tanpa melepas pandangku pada Imelda, lima meter jarakku dengannya. Cukup dekat untuk melakukan kontak mata yang kian membuat suasana pantai hanya milik kami berdua. Husna yang bingung dengan sikapku langsung menyelidik arah mataku, tepat mengarah Imelda dan lelaki Tionghoa itu.

"Kenapa buru-buru, Pak?"

"Ah, tidak juga. Maksudku kalau sudah selesai di sini, kita bisa lanjut ke tempat lain."

Husna mendengus pelan, melepas perlahan pegangan tanganku. "Apa karena perempuan itu?"

Aku terhenyak dengan pertanyaan yang Husna lontarkan dengan sorot mata dingin, serasa menusuk sukmaku. Mungkinkah ia memiliki pandangan yang sama dengan Icha? Kalau Tionghoa adalah sebuah permasalahannya, aku betul-betul tak habis pikir.

"Sepertinya kita sudahi saja jogging pagi ini, Pak. Sampai bertemu di lain waktu. Saya permisi," ucap Husna yang menundukkan kepalanya lantas bersiap lari menjauhiku.

"Husna ...."

Dia mulai berlari kencang. Tanpa menoleh sedikit pun, tak mengindahkanku yang diam tertegun. Kulirik sedikit ke arah Imelda, melihat dirinya dan lelaki Tionghoa itu membuat dadaku sesak. Perasaan ini merengkuhku, menjadikanku berjibaku pada sebuah kosa kata baru dalam hidupku. Hatiku seperti dihujam seribu jarum tanpa welas asih, sangat perih. Disusul sembilu yang megiris-irisnya perlahan, teramat menyakitkan.

Beginikah rasanya cemburu?

Aku segera menyusul Husna yang mulai hilang di kejauhan. Melewati Imelda dan lelaki itu dengan pandangan lurus ke depan, tanpa memberi perhatian. Persetan dengan mereka, memangnya apa peduliku? Api cemburu itu ternyata amat panas. Membakar habis nalar dan nurani, menghanguskan logika hingga tak bersisa sama sekali. Laksana api biru yang menjadi api paling panas setelah inti bumi. Tak terbayang rasanya, tak terkira sakitnya.

Hari minggu, aku dan Imelda sekedar bertemu sambil lalu. Seolah kami berdua tidak saling kenal dan tak pernah sekalipun mengenal.

* * * * * * * * * *

Baru saja diriku masuk ke dalam rumah, seketika hujan mulai turun dengan tingkat kederasan yang parah. Genteng rumahku sampai bocor di sana-sini, tetesan demi tetesan luruh membasahi lantai. Segera kuambil beberapa ember untuk menampungnya.

Lihat selengkapnya