Pagi baru saja merekah. Tampak indah memang. Sayang semua itu harus terenyahkan mentah-mentah begitu melihat tumpukan dokumen yang menggunung di atas meja. Apalagi setelah kejadian semalam, aku jadi susah tidur. Sepertinya hari-hari kelabu terus menimpaku, seiring berjalannya waktu.
Seorang rekan kerja yang tiba-tiba masuk ke ruanganku, memberi sentuhan terakhir dalam kesenduan hari-hariku.
"Pak Adnan ... Anda ditunggu Pak Camat di ruangannya."
Aku segera beranjak. Dengan malas kucampakkan dokumen itu ke sudut meja. Entah masalah apa lagi yang menungguku di tempat jahanam itu. Aura ruangan Pak Camat terasa amat menjijikkan layaknya lubang kakus di terminal kota, mau muntah rasanya.
Setelah menghela napas pelan dan mempersiapkan mental, barulah aku masuk ke dalam palka sang tokoh paling antagonis dalam cerita hidupku. Ialah orang nomor satu di kecamatan ini, Bapak Adjie Suprapto.
"Akhirnya datang juga. Silahkan duduk dulu, Pak Adnan. Ada yang ingin kami bicarakan."
Pak Camat segera menyilakanku duduk di samping sang tokoh paling durjana dalam ceritaku dan Imelda. Ialah musabab perjumpaanku dan Imelda sekaligus menutup panggung sandiwara kami dengan sad ending yang tak pernah kuduga. Ialah si pembuat masalah KTP nomor satu di kecamatan ini, Bapak Malik Iskandar.
"Bagaimana? Sudahkah anda putuskan untuk ikut rencana kami?" Pak Malik langsung menyemburku tanpa basa-basi.
Pak Camat menatapku dengan seringai liciknya. "Adnan, sudah kubilang kalau kau ini masih belum paham soal kehidupan. Sampai kapan kau mau lurus terus begini? Ayolah, jangan menyesal kalau patah lagi di kemudian hari."
"Maaf, Pak. Sebagai Wakil Camat Gading Cempaka, saya tidak ingin melakukan tindakan kriminal ini. Meski mendapat dukungan penuh dari aparat pemerintahan."
"Baiklah kalau itu maumu. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, Nan. Saat kami memberitahumu soal rencana ini, maka kau sudah dipastikan terlibat. Camkan itu."
Tampaknya aku harus meralat perkataanku soal aura ruangan ini. Bahkan lubang kakus di terminal kota lebih elok dipandang. Sungguh, tak dapat kuukur lagi semenjijikkan apa tempat ini. Tak tergambarkan, sulit dideskripsikan.
Untuk yang ke sekian kalinya, dua orang ini membujukku untuk menerima tawaran mereka. Sangat menggiurkan memang. Tapi personalitas idealis dalam jiwaku telah tertanam sejak lama. Berakar kuat dan tak mudah tercerabut hanya karena materi semata.
Dan untuk ke sekalian kali pula, aku menggelengkan kepala dan menolak kesempatan yang ada. Teringat kembali pesan Papa dan Mama sebelum aku meninggalkan keluarga. Kuukir rapi dalam dada selama nyawa masih dikandung raga, selama-lamanya. Cukuplah aku percaya dan tidak meragukannya.
Setelah keluar dari ruangan laknat itu, aku bergegas mengeluarkan handphone. Kuketikkan pesan singkat kepada seseorang yang bisa memberiku bantuan. Aha, kupikir satu orang takkan cukup untuk memenangkan pertempuranku kali ini. Akan kubalaskan kekalahan waktu itu dengan yang lebih menyakitkan.
Aku butuh dua, bantuan ganda dari orang yang berkuasa.
* * * * * * * * * *