Konsonan Cinta yang Kehilangan Vokalnya

Muhammad Arief Rahman
Chapter #22

U. THE CONFUSION

Sejak acara syukuran nasional yang diadakan oleh perusahaan milik Huang Family, Agung mulai sering datang ke kantorku untuk menemui Pak Camat. Ya, tentu saja aku sudah bisa memprediksinya karena memang inilah yang kurencanakan. Sebenarnya cara yang kucanangkan tersebut kurang praktis untuk dikerjakan. Waktu yang diperlukan cukup lama. Tapi hanya inilah satu-satunya kiat sukses yang terpikir oleh logika sembari mengumpulkan bukti yang harus cukup baik keberadaan dan jumlahnya. 

Tak terasa sudah seminggu lamanya Agung terus beroperasi. Setiap malam, Aku, Agung serta Inspektur Pandhu kerap melakukan evaluasi dan berbagi informasi. Belum ada satu pun kabar baik yang terdengar selama ini. Agung juga tak memiliki pilihan selain terus melaksanakan peran yang entah sampai kapan selesainya. 

Suatu hari, kami sempat berkumpul di tempat makan langganan Agung di dekat Danau Dendam Tak Sudah. Kali ini, Agung berbaik hati mentraktir kami makan malam di restoran yang cukup mahal. Lumayan jauh dari tempatku tinggal, karena danau ini berlokasi di Kelurahan Dusun Besar, Kecamatan Singaran Pati. Pemandangan di dekat danau ini begitu seram dan tampak sedikit horor jika malam hari. Luas keseluruhannya sekitar 557 hektare dengan luas permukaan 67 hektare. Berbagai macam flora yang khas dapat kita jumpai di sini, di antaranya anggrek matahari, plawi, bunga bakung, gelam, terentang, sikeduduk, brosong, ambacang rawa, dan pakis. Selain flora, terdapat pula beberapa fauna khas, seperti kera ekor panjang, lutung, burung kutilang, babi hutan, ular phyton, siamang, siput dan berbagai jenis ikan termasuk ikan langka, seperti kebakung, dan palau. Banyak bukan? Itulah sebabnya pada tahun 1936, Danau Dendam Tak Sudah ditetapkan sebagai cagar alam dengan luas 11,5 hektare oleh Pemerintah Hindia Belanda mengingat sangat penting dan strategis keberadaannya. 

Ada beberapa legenda yang beredar di masyarakat sekitar yang berkaitan dengan asal mula nama danau ini tercipta. Di antaranya legenda Buaya Buntung, Keramat Pintu Air dan Keramat Danau. Namun, hanya dua legenda saja yang banyak dijadikan patokan umum terhadap sebutan danau tersebut.

Yang pertama ialah legenda Lintah Raksasa. Konon, dahulu kala ada sepasang kekasih yang cintanya tidak direstui orang tua. Mereka yang tengah mabuk asmara memutuskan bunuh diri dengan loncat ke dalam danau. Sejak saat itu, masyarakat Bengkulu percaya ada dua ekor lintah raksasa yang hidup di danau dan merupakan jelmaan sepasang kekasih tersebut. Mereka terus hidup dengan menyimpan rasa dendam lantaran cinta yang tak kesampaian.

Legenda yang kedua adalah Dam Tak Sudah. Kisah lain terkait nama yang cukup aneh di telinga tersebut terkait dengan pembangunan dam oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Menurut para sesepuh dan keturunan terpercaya, koloni Belanda membangun bendungan untuk menampung banjir. Tapi hingga penjajahan berakhir, bendungan itu tak kunjung usai dan ditinggalkan begitu saja. Akibatnya, hal itu menuai luka dan dendam penduduk Bengkulu yang tak berkesudahan. Ada juga yang mengaitkan nama Dendam Tak Sudah berasal dari Dam Tak Sudah.

"Bagaimana, Gung? Apa kabar baik yang kau bawa hari ini?" tanya Inspektur Pandhu setelah kami bertiga usai makan malam.

Agung seketika diam membeku begitu mendengar pertanyaan Inspektur Pandhu. Aku bisa menebak kalau ia mengalami kegagalan yang kesekian kalinya. Sedari tadi wajah Agung terlihat lesu dan muram. 

"Maaf ... aku sudah berusaha memancing setiap pertemuan untuk membahas pekerjaan kotor mereka. Namun mereka masih saja bersikeras mengalihkan topik yang kubicarakan. Kurasa, mereka belum sepenuhnya percaya padaku. Apalagi si Pak Tua Huang yang sombong itu. Berkali-kali dia memotong kalimatku dan menyebutku sebagai bocah ingusan. Benar-benar keterlaluan! Mentang-mentang dia lebih kaya dariku dengan perusahaan besar sialan miliknya. Membuatku kesal saja," geram Agung dengan sedikit mengepalkan tangannya.

Aku menelan ludah. "Kau sudah menjalankan peranmu dengan sangat baik, Gung. Sabarlah, kita baru satu minggu memulainya."

"Omong kosong!" sergah Inspektur Pandhu. "Adnan, kenapa kau jadi lembek seperti ini? Kita harus tetap maju sekarang. Kalau kita mudah puas dengan rencana yang belum sempurna, itu sama saja dengan jalan di tempat. Sampai hari kiamat datang pun takkan pernah selesai. Lalu kau, Agung ... jangan cuma memakai cara yang itu-itu saja. Ubah gaya permainan negoisasimu. Buat terobosan hingga mereka tak menyadari lubang besar yang kau persiapkan. Sepotong keju yang diletakkan begitu saja tak cukup kuat untuk menjebak seekor tikus. Pikirkanlah solusi yang berbeda, cari jalan keluar lain."

Aku dan Agung hanya mampu berdeham pelan, tak bergeming sedikitpun. Kalaulah ucapan lebih mudah ketimbang perbuatan, mungkin selebihnya akan enteng saja. Seandainya kata-kata yang dilontarkan oleh Inspektur Pandhu tadi layaknya mantra sakti mandraguna, agaknya kami bertiga tinggal bersantai saja. Sayang sekali, ini bukanlah cerita ala negeri dongeng. Pihak kebajikan sekalipun akan kalah telak dengan kejahatan yang lebih sistematis dan metodis. Ah, alangkah enak jika apa yang kita inginkan selaras dengan pengandaian, berbanding lurus dalam khayalan. Tentulah amboi sekali rasanya.

"Sepertinya mulai saat ini aku akan menggunakan cara yang sedikit kotor," tutur Agung menyeringai tajam.

Tak kusangka selepas Agung mengatakan hal itu, semuanya berubah. Melancong jauh dari rencana dan menyimpang dari strategi yang ada. Esoknya kejutan Agung akan lebih mengguncang raga, menyematkan tanda tanya yang tak langsung kutahu apa sebabnya.

* * * * * * * * * *

Pukul tujuh pagi, aku sudah siap untuk berangkat ke kantor Walikota Bengkulu. Tadi malam saat hendak beranjak tidur, aku dikagetkan dengan notifikasi e-mail yang mengharapkanku untuk datang ke kantor Pak Walikota pada pukul delapan pagi tepat. Perihal acaranya menurutku tak begitu penting, hanya musyawarah rutin Walikota dengan para petinggi kecamatan dan ditutup dengan makan siang bersama.

Setelah memanasi mobil di garasi, aku memutuskan untuk menelpon Agung yang sudah lama tak bisa dihubungi. Di kantor pun ia sudah jarang terlihat. Jangan-jangan dia sudah menyerah kalah dan pasrah dalam pertempuran ini. Pikiranku mulai dijejali dugaan-dugaan buruk.

'Ayolah, Gung. Tolong angkat teleponnya ....' lirihku dalam hati.

Nada sibuk. Sepertinya Agung tak mempedulikan panggilanku. Bisa saja dia memblokir nomor handphone-ku. Aku segera menelepon Inspektur Pandhu. Mungkin ia tahu keberadaan Agung yang kini hilang bak ditelan bumi. Beruntung beliau mengangkat panggilanku.

"Halo ... Tak biasanya kau menelponku pagi-pagi begini. Ada apa?"

"Inspektur ... Apa anda tahu di mana Agung sekarang? Semenjak kita makan siang di restoran dekat Danau Dendam Tak Sudah dia jadi sulit dihubungi."

"Mungkin Agung sibuk mengurus bisnisnya. Kenapa kau tak coba tanya istrinya? Kau bilang dia sahabat dekatmu, kan?"

Lihat selengkapnya