"Tumben awak traktir ambo makan siang di sini." Icha menatapku dingin. "Jangan bilang kalau ada udang di balik batu. Melihat ekspresi muka awak ... sepertinya dugaan ambo memang benar, Nan."
Memang betul kalau aku punya maksud tertentu hingga mengajak Icha makan di restoran mahal seperti ini. Mana mungkin aku tega dengan nasib dompetku yang akhir-akhir ini menjerit tak keruan hanya dengan melihat harga menu makan di restoran. Mencengangkan. Bukan karena alasan sepele aku mentraktir Icha makan siang di sini. Pertama, aku tak bisa bertemu Icha di rumahnya sebab orang yang kini paling kubenci ada di sana. Kedua, jika aku bertemu Icha di kantor dan membicarakan permasalahanku di sana, itu malah membuatku tak leluasa. Jadi, kesimpulanku untuk mentraktir Icha di restoran mahal seperti ini pun seharusnya menjadi pengorbanan yang tidak sia-sia.
"Benar ... ada yang ambo hendak bicarakan dengan awak. Secara empat mata," jawabku sambil menghela napas perlahan.
Pengkhianatan itu, masih saja terpampang jelas dalam memori ingatanku. Sudah genap satu bulan semenjak Agung mengkhianatiku dan berhasil menghempaskanku ke dalam lembah kegagalan yang tak pernah mau kuterima. Apapun alasannya. Ucapannya di kantor Pak Walikota sewaktu itu benar-benar menusukku lantas menorehkan luka yang mendalam. Benci. Dendam. Semua itu begitu nyata dan terlihat bukan sekedar rekayasa semata. Maka dari itu, aku ingin tahu maksud sebenarnya dari apa yang telah dilakukan Agung selama ini.
"Apalagi masalah awak, Nan? Kalau soal wanita Tionghoa bernama Imelda itu lagi, ambo malas mendengarnya. Sia-sia awak traktir makan siang di sini."
"Bukan ... ambo hendak membahas persoalan yang lain. Janganlah awak suudzon dulu, Cha."
"Lalu apa? Ah, awak pasti mau bertanya soal Husna, kan? Terlambat, Nan. Dia sudah pindah kerja ke kecamatan lain karena tindakan bodoh awak yang egois! Padahal gadis itu sangat menyukai awak sampai rela memberontak keputusan lama orang tuanya. Asal awak tahu saja ... Perjodohan Husna dengan calon menantu pilihan Ayahnya mendadak batal karena awak, Nan!"
Aku hanya bisa membisu ketika Icha berkata demikian. Jadi selama ini Husna tak hadir di kantor karena mengundurkan diri dan pindah kerja ke tempat lain? Betapa bodohnya aku yang baru tahu akan berita ini. Selera makanku mendadak kandas. Tempoyak udang yang telah tersaji di hadapanku dan siap disantap nikmat tak ubahnya dengan kotoran sapi di tanah lapang. Amat sangat menjijikan, memuakkan.
"Apalah yang awak pikirkan? Dan sekarang malah ingin merusak pernikahan orang lain lagi. Begitukah cara awak menghargai seorang perempuan, heh?"
"A-ambo ...." Suaraku seperti tersangkut di tenggorokan, tersendat tak keruan.
"Sebenarnya alasanku melarang awak mendekati Imelda bukan karena ia seorang Tionghoa. Naif sekali ambo jika berpikiran sempit seperti itu." Icha memandangku sendu. "Sejatinya ambo cuma tak ingin awak menyakiti perasaan wanita lagi. Tiga orang, Nan ... Awak sudah menyayat luka dan memberi harapan yang sama terhadap tiga orang wanita! Tanpa awak sadari Imelda akan jadi yang ketiga setelah aku dan Husna ...." tutur Icha yang semakin membuatku terbungkam diam.
Seketika itu Icha mengusap matanya yang terlihat berkaca-kaca. Tak bisa, ia mulai meluruhkan air matanya. Pipinya mulai basah lantas sedu sedan segera melanda tangisnya. Sedangkan aku dengan tampang seorang pecundang malah menundukkan pandang. Malu menghadapi Icha sekaligus merasa bersalah atasnya. Bagaimanalah, aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Beberapa saat kemudian, tatkala Icha sedang terisak begitu pilunya tepat di hadapan diriku yang tak bisa berbuat apa-apa, sekoyong-koyong seorang lelaki berjas rapi mendatangi meja kami. Adalah dia yang akhir-akhir ini kubenci dan kuanggap sebagai pengkhianat banci. Padahal baru saja aku ingin menanyakannya kepada Icha.
"Apa-apaan ini!? Kenapa kamu menangis?"
Mendengar itu, Icha berusaha menghapus air mata di pipinya yang terlanjur basah. Percuma. Lelaki berjas rapi itu sudah kepalang tahu. Kini ia ganti menatap tajam ke arahku sejenak dan bergegas membawa Icha pergi. Berlalu begitu saja bak kesatria berkuda putih yang menyelamatkan seorang putri dari cengkraman gergasi durjana.
Dan raksasa dursila nan angkara itu adalah ... Aku!
* * * * * * * * * *
Sehabis pelaksanaan apel rutin pagi, aku segera menemui Icha di ruangannya. Namun rekan satu ruangannya mengatakan kalau Icha sedang tak enak badan dan absen untuk hari ini.
"Sudah berapa hari dia absen?" tanyaku pada salah satu rekan Icha di ruangannya.
"Ini sudah kali ketiga Bu Icha absen, Pak. Kalau saya tidak salah, hari Jum'at dan Sabtu pun Bu Icha tidak masuk dengan alasan yang sama."
Astaga, berarti Icha mulai tak masuk kerja semenjak bertemu denganku. Jangan-jangan ia tak ingin bertemu denganku setelah kejadian di restoran mahal itu. Ah, seharusnya aku langsung membicarakan pokok persoalannya waktu itu. Tetapi masalah dengan Husna tetap tak bisa kuabaikan begitu saja. Semuanya menjadi kacau balau saat Agung pun datang ke sana dan melihat Icha menangis tepat di hadapanku. Haruskah aku datang ke rumah mereka dan meminta maaf? Terus terang saja, aku sebenarnya masih marah dan benci kepada Agung. Apa boleh buat, sepertinya aku harus bersedia menyampingkan ego untuk sesaat. Bagaimana pun juga ini adalah salahku dan aku tidak berhak mengaitkannya dengan kesalahan orang selain diriku. Baiklah, aku sudah bertekad dengan penuh keyakinan untuk datang ke rumah Agung dan Icha selepas pulang kerja nanti.
Belum sampai semenit diriku masuk ke dalam ruanganku untuk mulai memeriksa dokumen-dokumen yang menggunung di atas meja, seorang anak magang masuk dan mengabarkan berita yang menghebohkan. Semua pegawai sampai berdesas-desus. Aku nyaris tak percaya.
"Pak Adnan ... Ada seorang petinggi polisi dan beberapa orang utusan Direktorat Jenderal Imigrasi di ruangan Pak Camat. Bapak diharapkan segera ke sana sekarang!"
Tanpa banyak tanya, aku bergegas meninggalkan tumpukan dokumen di mejaku dan langsung menuju ruangan Pak Camat. Tak biasanya hal ini terjadi. Bukankah Pak Camat sering dilindungi oleh pihak kepolisian? Lalu kenapa ada utusan Direktorat Jenderal Imigrasi di sana?
Sesampainya di ruangan Pak Camat, aku segera masuk ke dalam dan memberi salam. Melihat personal yang ada di ruangan tersebut membuatku semakin paham dengan permasalahan ini. Pak Malik terlihat lesu di tempat duduknya. Yang membuatku terkejut ialah kehadiran seorang petinggi polisi yang disebutkan anak magang tadi, ternyata beliau adalah Inspektur Jenderal Pandhu Sanjaya! Sulit kupercaya, bukankah ini di luar rencanaku? Bahkan aku belum memiliki cukup bukti untuk memulangkan si Tikus Tua. Sebersit senyum terbit di wajah Inspektur Pandhu ketika menatapku. Ekspresi itu seolah mengatakan, "Adakadabra ... Surprise!"
"Baiklah, karena semua pihak yang dibutuhkan sudah berkumpul. Mari kita langsung ke inti pokok pembicaraan kali ini." Pak Camat membuka rapat mendadak ini dengan sedikit ragu-ragu.
"Tidak, Pak Camat. Pokoknya saya tidak terima dengan keputusan ini!!!" bentak Pak Malik sambil menggebrak meja, kaget aku dibuatnya.
"Sabar, Pak ... Kita coba bicarakan ini du–"
"Persetan! Saya ingin bukti utuh!" potong Pak Malik yang membuat murka Inspektur Pandhu.
Adalah sebuah kesalahan besar jika emosi di hadapan petinggi polisi ini. Kalau kita santai dan sabar maka begitu pula dirinya. Itu sudah menjadi semacam aturan baku buat Inspektur Pandhu sendiri. Lihatlah, ia begitu berang sekarang.
"BISAKAH KAU SEDIKIT SOPAN? KAU TAK TAHU AKU INI SIAPA, HAH?!"
Bergidik Pak Malik melihat tampang Inspektur Pandhu yang garang. Badan kekar nan berotot itu berhasil membuatnya gentar.
"Em ... Pak Malik, saya datang ke sini bukan karena adanya bukti atau tidak. Tapi ini adalah perintah langsung dari Pak Walikota dan beliau memutuskan untuk memulangkan anda ke Malaysia hari ini juga. Maka dari itu saya mohon kerja samanya. Jika anda bersikeras untuk tetap di Indonesia, Inspektur Pandhu sendirilah yang akan turun tangan," tutur salah seorang dari utusan Direktorat Jenderal Imigrasi seraya menyerahkan surat kuasa kepada Pak Malik.