Rencananya hari ini Aku, Agung dan Inspektur Pandhu akan makan siang bersama lagi di restoran yang seperti biasanya. Kali ini Inspektur Pandhu sendiri yang akan menanggung bayarannya. Tentu saja Aku dan Agung menerima keputusan itu dengan suka cita.
"Improvisasi yang luar biasa! Kukira bocah ingusan ini cuma bermodalkan kaya," kata Inspektur Pandhu yang mengelu-elukan Agung saat kami bertiga video call via WhatsApp di pagi buta.
"Sungguh kejam kalian berdua! Tega sekali tidak memberitahuku kalau pengkhianatan itu adalah bagian dari rencana."
"Hahahahaha ... This is so funny! Kukira kau orang yang sangat peka, tak kusangka kau malah termakan emosi dan menganggap serius sebuah improvisasi."
Tawa nyaring Inspektur Pandhu yang sambung menyambung dengan suara cekikikan Agung mulai membuatku kesal sekarang. Coba saja mereka berada di posisi yang sama denganku saat berada di Kantor Pak Walikota, manalah bisa menahan amarah yang semakin membludak oleh kata-kata kejam Agung.
"Akui sajalah, Nan. Melihat ekspresi mukamu waktu itu membuatku kesulitan menahan tawa. Bisa-bisanya seorang Adnan Saputra tertipu total."
"Kau ini ... Berterima kasihlah padaku yang menjadi alat bagimu untuk mendapat kepercayaan mereka, Gung." Aku menggerutu melihat Agung yang tak henti-hentinya tergelak.
Inspektur Pandhu berdeham kencang hingga membuat gelak tawa Agung terhenti. Aku juga mulai memperhatikan Inspektur Pandhu. Mungkin ia memiliki gagasan tertentu. Hening sejenak.
"Adnan, aku tahu kalau kau sudah berjuang keras selama ini." Inspektur Pandhu menghela napas pelan. "Tetapi ...."
Aha, sepertinya beliau hendak mendukungku sebagai anak didik kesayangan sekaligus rekan idealisme gendarmerie-nya. Tengoklah, Agung mulai mengernyitkan dahi tanda tak setuju. Hatiku bersorak sembari menunggu pembelaan Inspektur Pandhu selanjutnya.
"Kau benar-benar lugu waktu itu. Hahahaha ...."
Agung langsung kembali tertawa hingga sakit perutnya. Inspektur Pandhu lebih parah lagi. Ia memukul-mukul meja untuk menyalurkan selera humornya yang menurutku keterlaluan untuk ukuran seorang Inspektur Jenderal. Jika saja anak buahnya tahu kalau komandannya seceria ini, entah apa jadinya kepolisian di Bengkulu nanti.
Setelah menutup perbincangan kami, aku mendapat panggilan suara dari nomor tak dikenal. Lagi-lagi ada orang iseng atau tukang tipu peminta pulsa yang sedang ramai dibicarakan. Rasanya gatal sekali tanganku untuk menekan fitur tombol blokir kali ini. Namun, kucoba untuk berpikir positif sajalah. Mungkin si penelpon ini sedang salah sambung.
"Halo ... Maaf ini dengan siapa, ya? Sepertinya anda salah sambung," ujarku sesopan mungkin.
"Tidak ... sepertinya anda adalah orang yang ingin kuhubungi sekarang, Pak Wakil Camat."
Eh, suara ini ... Terasa familiar di telingaku. Mungkinkah si penelpon ini adalah dia?
"Darimana anda mendapatkan nomor handphone saya?"
Aku mencoba untuk mengklarifikasi sejelas-jelasnya. Barangkali ini cuma tipuan belaka. Trik murahan seperti ini sudah biasa terjadi. Pura-pura mengaku sebagai teman, padahal tidak demikian. Sebut saja ini sok kenal, sok dekat.
"Ah, apa saya harus memanggil dengan sebutan 'Gege' agar anda mulai ingat?"
Aku tercekat. Pertanyaan ini membuatku terpaku kaku seketika. Genggaman terhadap handphone-ku hampir saja terlepas, seakan tak percaya dengan kenyataan yang ada.
Juan ... Ia menelponku setelah sekian lamanya kami berseteru satu sama lain. Kupikir perjumpaan saat ia menjemput Imelda adalah kali terakhir aku bertemu dengannya. Tak kusangka Juan malah meneleponku sekarang. Berbagai hipotesis berkecamuk hebat di kepalaku.
Kenapa kau meneleponku, Juan?
* * * * * * * * * *
Setelah bel istirahat makan siang berbunyi di kantorku, aku segera menuju parkiran dan benar saja, di sana telah menunggu Juan dengan pakaian yang menurutku cukup kasual. Sangat kontras denganku yang berseragam rapi ala pegawai negeri. Dan untuk makan bersama dengan Agung dan Inspektur Pandhu terpaksa harus kubatalkan. Tak mengapa, lagipula jarang-jarang aku bisa bertemu Juan.
"Akhirnya Gege istirahat juga ....," ucap Juan sambil nyegir lebar.
"Sudah lama?" tanyaku dingin.
"Tidak juga. Baru datang, kok."
"Jadi, apa yang membawamu bertemu denganku?" Aku langsung membahas permasalahan utama. "Soal Imelda, aku sudah percayakan dia padamu. Tak usah khawatir, aku tak akan mengganggunya lagi."
Juan sedikit kikuk. "Sebaiknya kita bicarakan ini di tempat lain. Gege belum makan siang, kan?"
"Belum, sih .... kau ada rekomendasi tempat makan yang enak?"
"Banyak! Ayo, Gege naik mobilku saja."