Konsonan Cinta yang Kehilangan Vokalnya

Muhammad Arief Rahman
Chapter #25

X. RESULTAN KEBENCIAN

"Hari ini kau yang bayar makanannya, Nan. Minggu lalu kau seenaknya saja pergi dan memilih traktiran adikmu ketimbang aku, heh?"

Aku hanya bisa menatap ubin restoran, merundukkan kepala macam kriminal pecundang yang tertangkap basah. Tak tahulah, Inspektur Pandhu tampaknya tersinggung oleh ketidakhadiranku.

"Setuju. Di mana rasa hormatmu kepada Inspektur Jenderal Pandhu Sanjaya yang gagah perkasa? Bisa-bisanya kau menduakan kebaikan hati beliau yang seluas samudera." Agung mulai memanas-manasi keadaan, tega sekali dia memprovokasi Inspektur Pandhu.

"Aku minta maaf," kataku yang masih menundukkan pandangan.

Sial! Inspektur Pandhu dan Agung tak bergeming sedikitpun. Sengaja betul mereka bertindak seolah enggan merespon permintaan maafku. Apa yang dikatakan orang-orang zaman sekarang memang benar. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Termasuk permintaan maaf. Harus memiliki effort dan feedback yang sesuai. Berbanding terbalik dengan sifat orang Indonesia yang semestinya berbudi luhur dan tanpa pamrih.

Tapi hatiku yang sedang mekar dan bersemi indah membuat suasana runyam ini jadi lebih menyenangkan hingga soal traktiran makan siang inipun tak masalah. Bayaran setimpal atas kebahagiaanku yang telah menghabiskan hari dengan Imelda minggu lalu. Aku tahu kalau kami memang tak semewah pasangan kekasih lainnya. Tahu sendirilah, hanya memasak bersama lalu makan malam dengan tingkat keromantisan yang menurutku tak seberapa. Ah, saat ini saja diriku masih melayang dengan hati berbunga-bunga mengingat ciuman pipi dari Imelda. Detak jantungku seringkali tak menentu jika memikirkan kembali momen langka itu.

"Oke ... Oke ... Makan siang kali ini biar aku yang traktir. Apapun yang kalian mau, silahkan pesan saja, aku siap!" seruku yang dengan gamblangnya menyetujui permintaan mereka.

Mendengar ucapanku tadi, seketika Inspektur Pandhu dan Agung bersorak kegirangan bak seorang ilmuwan asal Yunani bernama Archimedes yang mengucapkan "Eureka!" saat berhasil menemukan teori baru. Mereka berdua saling tatap dan menyeringai licik. Oh, tidak! Tampaknya aku memberikan tawaran yang salah.

"Seafood Baserak!" pekik Agung dan Inspektur Pandhu yang nyaris bersamaan. "Kita belum coba menu makan dengan porsi super itu. Kata salah satu klienku bilang menu itu mesti dicoba kalau bertandang ke restoran ini. Bagaimana menurut anda, Inspektur?"

Inspektur Pandhu berdeham pelan lalu tertawa. "Tentu saja aku setuju denganmu. Terakhir kali diriku makan dengan porsi sebesar itu bersama tim adalah saat masih menjadi polisi rendahan Tamtama, Bhayangkara Dua. Kali ini kita harus menghabiskannya meski cuma bertiga. Berbagai macam makanan laut yang disajikan seakan memberiku semangat baru untuk mencapai lambang bintang dua ini yang menjadi kebanggaanku. Coba sebut, Siapakah aku ini sekarang?" tanyanya jumawa sembari membusungkan dada.

"Anda adalah Inspektur Jenderal Pandhu Sanjaya yang gagah nan perkasa! Perwira Tinggi Polisi sekaligus pemimpin korps se-Kota Madya!" seru Agung berapi-api, panas tak terkendali.

Tunggu, Seafood Baserak? Menu makan dengan porsi super? Perlahan kuambil buku menu restoran lantas membukanya. Seketika badanku terguncang macam dihempas ombak ganas di lautan. Ya Tuhan, jiwa ekonomi dalam diriku seakan menjerit saat melihat harga yang tertera di buku menu tersebut. Kukira menu makanan yang mereka pilih hanya berkisar 3-4 orang dan dengan harga terjangkau. Nyatanya menu tersebut mempunyai porsi 10 orang dengan harga yang tak bisa dinalar oleh dompetku. Lihatlah, satu juta kurang seribu rupiah! Harga gila macam apa ini?! Sungguh keji pemilik restoran ini dalam hal menentukan harga.

Mau tak mau aku harus menepati janji. Aku berjalan dengan lemas ke arah meja kasir. Kupasrahkan kartu debit kesayanganku pada pelayan kasir hingga ia memeras habis tabunganku. Sayang, jumlah uangku masih tak mencukupi untuk Seafood Baserak yang menjadi the highest price di restoran ini. Sialan! Terpaksa kuserahkan seluruh uang tunaiku dalam dompet lalu mendapat sedikit uang kembali berbentuk recehan. Dan dengan tampang tak berdosa, si pelayan kasir malah bertanya padaku, "apakah Bapak ingin mendonasikan uang kembalian ini? Jika iya, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya."

Dengan berat hati kuanggukkan kepala tanda setuju. Terpaku sejenak lantas kembali ke meja makan tempat Agung dan Inspektur Pandhu menunggu. Kuratapi nasib keuanganku yang tengah berada di penghujung tombak. Kartu debit segera kumasukkan kembali ke dalam dompet yang kosong melompong.

Oh, dompetku sayang, dompetku malang ....

* * * * * * * * * *

"Fuahhhh ... Rasanya perutku sudah penuh sekarang." Agung menyandarkan punggungnya ke kursi. "Lain kali kau traktir kita makan besar seperti ini lagi, oke?"

Aku tersenyum kecut. Mana sudi aku membayari menu makan dengan harga gila ini untuk kedua kalinya. Menunya memang enak. Jenis makanan laut yang disajikan sangat komplit mulai dari ikan, udang, cumi, kerang, kepiting hingga rumput laut. Wajar saja jika menjadi menu the highest price di restoran tersebut. Tapi tetap saja, sebagai pegawai negeri sipil sepertiku harga tersebut amat tidak masuk akal. Tak rasional menurut insting dompetku yang sekarang menjadi korban kebengisan perut Agung dan Inspektur Pandhu. Padahal biasanya mereka hanya mentraktirku menu makan dengan harga yang murah meriah. Promo pula! Aku jadi kesal dibuatnya.

Inspektur Pandhu sudah sedari tadi kembali ke kantor setelah ada telepon penting dari bawahannya. Dia tampak terburu-buru. Sepertinya ada kasus yang perlu ia selesaikan atau pihak kepolisian memintanya untuk langsung turun tangan. Sebenarnya aku juga ingin lekas kembali ke kantor. Tapi karena hari ini mesin mobilku sedikit mengalami kendala, aku terpaksa naik angkutan kota. Karena rute rumah Agung yang searah dengan kantor kecamatan, ia mengajakku untuk menumpang mobilnya. Lumayanlah buat menghemat ongkos. Uang dalam dompetku juga sudah habis tak bersisa. 

Agung merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphone yang berbunyi. "Adnan ... Jam makan siangmu sudah habis, kan?" tanyanya sambil menatap layar handphone.

"Masih sisa lima belas menit lagi, sih."

"Ayo, kuantar sekarang," katanya dengan wajah muram. "Tapi kita mampir sebentar ke rumahku, ya ...."

"Ada urusan apa? Kalau itu mendesak, aku bisa naik angkutan kota, kok."

"Sudahlah, ikut aku saja. Uangmu bukannya sudah habis?"

"Oh, oke."

Kami berdua bergegas masuk ke dalam mobil. Agung terlihat berkali-kali menarik napas panjang. Ia melajukan mobil dengan kecepatan yang menurutku seperti dikejar sesuatu, amat terburu-buru. 

"Kau kenapa, Gung? Ada masalahkah?"

"Tadi Icha mengirim pesan. Anakku demam tinggi, Nan."

Lihat selengkapnya