Usai insiden yang terjadi tempo hari, kotaku menjadi soroton publik dari berbagai kalangan di Indonesia. Semua stasiun televisi dalam negeri pun menjadikan kasus penyerangan atas para pimpinan Direktorat Jenderal Imigras dinyatakan sebagai pembunuhan berantai setelah dihubungkan dengan tewasnya Walikota Bengkulu.
Pembantaian di kediaman Agung yang memakan banyak korban jiwa khususnya istri dari seorang pengusaha ternama di Bumi Rafflesia juga ikut menjadi headline dalam seluruh media komunikasi. Padahal aku dan Inspektur Pandhu sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak membeberkan kepada khalayak ramai tentang kejadian tersebut. Seolah terdapat faksi yang dengan sengaja menggerakkan seluruh media komunikasi di Indonesia. Untunglah kabar percobaan bunuh diri Agung tidak ikut tersebar luas. Hanya aku dan Inspektur Pandhu saja yang tahu serta beberapa pihak medis.
Berhubung Agung belum siuman, jenazah Icha yang sudah dingin urung kami kebumikan. Biarlah nanti Agung beserta buah hatinya yang mengantarkan Icha agar bisa beristirahat dengan tenang. Aku menitipkan bayi mungil mereka kepada seorang wanita yang bisa kupercaya sekaligus meminta maaf kepadanya. Gadis yang sempat mencintaiku beberapa saat lantas dengan baik hati menerima permintaanku tanpa pamrih. Siapa lagi kalau bukan Husna. Aku sempat melihat ekspresi keibuan di wajahnya saat menitipkan bayi mungil malang yang harus kehilangan seorang ibu. Dengan ini, hanya Husna yang bisa kupercaya.
"Kondisi sekarang sudah penuh hingar bingar, Nan. Ini jelas-jelas pembunuhan yang disusun sangat rapi. Aku yakin bukan seorang saja yang terlibat, semacam kelompok gelap pasti menjadi biang keroknya," ucap Inspektur Pandhu yang menghela napas perlahan.
Aku menatap wajah pucat Agung yang terbaring lemah di ranjang. Sudah seminggu lebih ia mengalami koma dan tak kunjung sadar. Pergelangan tangannya dibalut perban untuk menutup bekas luka sayat yang Agung torehkan saat kejadian mengenaskan itu. Andai saja tim medis yang kupanggil waktu itu datang terlambat, mungkin Agung sudah berada di Tempat Pemakaman Umum sekarang. Puji Syukur atas Tuhan yang masih berbaik hati menyelamatkan nyawa Agung.
Kami pun melakukan penjagaan ketat dalam rumah sakit tersebut demi keselamatan Agung. Polisi anti huru-hara, tim pejinak bom, bahkan Inspektur Jenderal Kepolisian turut berjaga di sini. Aku sempat menolak keputusan Inspektur Pandhu soal penjagaan yang menurutku amat sangat berlebihan. Tapi beliau bersikukuh keras dan malah menyalahkan keteledoran dirinya sehingga kasus ini memakan korban jiwa dalam jumlah yang cukup meresahkan masyarakat Bengkulu.
"Saya rasa, kita juga perlu berhati-hati, Inspektur ... Firasat saya mengatakan kalau pembunuhan berantai ini ada kaitannya dengan kita bertiga. Saya yakin orang-orang dibalik ini semua menyimpan dendam kesumat yang mengharuskan pembalasan."
Inspektur mengusap dahinya. "Tapi siapa, Nan? Seluruh anak buah terbaikku sudah kukerahkan sejak hari pertama kejadian perkara. Baru kali ini kami menangani kasus tanpa titik terang."
"Yahhh ... Saya sudah mencurigai satu orang, sih."
Tepat setelah ucapanku selesai, salah seorang petugas yang diperintahkan Inspektur Pandhu untuk menjaga ruang rawat inap Agung mengetuk pintu dan segera masuk.
"Ada apa?" tanya Inspektur Pandhu kepada petugas tersebut.
Petugas itu memberi hormat. "Lapor. Ada paket untuk Tuan Agung, Tuan Adnan dan anda sendiri, Inspektur."
"Paket? Untuk kami bertiga?"
"Betul, Inspektur. Di sini tertulis bahwa paket tersebut ditujukan untuk anda, Tuan Agung dan Tuan Adnan," ucap petugas itu sambil menyerahkan paket tersebut.
"Baiklah, kau boleh pergi sekarang."
"Saya permisi, Inspektur."
Aku dan Inspektur Pandhu langsung membongkar bungkus paket yang terlihat amat mencurigakan. Logikanya, mana mungkin mengirimi paket atas nama kami bertiga di saat pihak yang dituju sedang berkumpul bersama. Bukankah cukup mencurigakan?
Sebuah kardus bermerek Indomie. Bedebah macam apa yang bisa-bisanya mengirim sekardus mi kepada kami? Dia kira kami kekurangan bahan pangan? Seperti korban bencana alam yang kelaparan?
Inspektur membukanya dan mengeluarkan isi kardus tersebut. Seketika itu juga kami terbelalak kaget melihat isi dari paket yang menjelaskan semua insiden memilukan ini. Aku mencengkram beberapa photo paper yang telah dibubuhi oleh gambar dan langsung membuat naluri Inspektur Pandhu tersentak. Ia segera keluar dan menarik kuat kerah petugas yang berjaga tadi.
"SIAPA YANG MEMBERIKAN PAKET ITU?! CEPAT JAWAB!" pekik Inspektur Pandhu hingga membahana sepanjang lorong rumah sakit.
"La ... Lapor. Se-seorang ku ... rir laki-laki mengantarkannya, Inspektur."