Setengah jam waktu persiapan yang makin menipis, hanya tersisa lima menit lagi untuk berangkat. Inspektur Pandhu terlihat sibuk memeriksa setiap personil pasukan. Mondar-mandir mengecek perlengkapan dan persenjataan dan memastikan seluruh anak buahnya berada di posisi masing-masing. Sementara aku yang baru pertama kali memegang senjata api banyak bertanya kepada salah satu personil pasukan khusus. Namanya Dadang Sugiharto. Usianya lima tahun lebih muda dariku. Ia mengajariku cara memegang senapan dengan baik serta menembak target secara akurat.
"Pistol ini bernama Colt 1911. Meskipun sudah ada sejak lama, di Amerika, pistol mematikan ini tidak hanya populer di kalangan militer, tapi juga rumahan karena bentuknya yang ringkas dan cukup ramah di tangan penembak pemula," jelas Dadang sembari memberikan pistol kecil itu kepadaku. "Saya yakin anda bisa menggunakannya dalam waktu singkat. Cukup perhatikan keseimbangan anda dan fokus pada akurasi tembakan."
"Marvelous! Berapa jumlah pelurunya?"
"Isinya tujuh buah peluru dan setiap satu butirnya bisa dimuntahkan dengan kecepatan 1.225 kaki per detik."
"Aha ... Pas sekali untuk menghabisi tujuh orang teroris biadab itu."
Dadang tertawa kecil. "Semoga anda beruntung, Tuan Adnan. Pastikan tembakan anda tidak ada yang meleset nanti."
Aku tersenyum kecut. "Apakah mereka memang seterkenal itu?"
Dadang langsung menghentikan tawanya begitu mendengar pertanyaanku barusan. Ia mendekatiku lantas membisikiku dengan suara sepelan mungkin.
"Sebaiknya anda tidak membahas itu di saat genting seperti ini. Kalau bukan karena Inspektur Jenderal Pandhu, kolaborasi antara Densus 88, Kapolda dan Korps Brimob seperti yang kita lihat sekarang takkan pernah ada. Irjen Pandhu adalah sosok pemimpin pertama yang berhasil menyatukan tiga unit kepolisian itu dalam satu komando. Belum lagi menghadapi 'The Descrilosion' yang levelnya sudah internasional."
"Apa tadi? De-descrilosion? Maksudmu ... para teroris itu?"
"Benar. Deadly Seven Criminal Explosion. Bukan sekedar teroris yang hobi dengan kekacauan belaka. Mereka layaknya tujuh ledakan mematikan sekaligus momok menakutkan bagi seluruh kepolisian. Terdiri dari tujuh personil yang amat piawai menggunakan senjata. Menurut analisisku, mereka tak mempunyai kewarganegaraan. Meski tujuh negara diharuskan bertanggung jawab atas mereka. Cerdik dan licik, itulah mereka. Bahkan pihak Interpol saja kewalahan menangani mereka yang seringkali memakai strategi brilian dan sulit diduga."
Pembicaraan kami terpotong dengan datangnya Inspektur Pandhu beserta personil pasukan khusus yang lain. Tak ada lagi canda dan tawa, semuanya tampak fokus dan serius. Kami membentuk formasi lingkaran untuk mendengarkan arahan dari Inspektur Pandhu. Sebagian besar armada polisi telah melajukan mobil mereka dan pergi menuju Pulau Tikus. Bunyi dentruman mobil beserta sirene yang meraung-raung memenuhi jalanan kota.
Inspektur Pandhu berdeham pelan sebelum menjelaskan. "Dengarkan aku, squad ... Kita akan memecah fokus pertahanan mereka dari tiga arah yang berbeda. Yaitu pantai jakat, pantai tapak paderi dan pelabuhan pulau baai. Otomatis armada akan dibagi menjadi tiga pula. Dari ketiga spot pelabuhan tersebut, kita selaku kartu truf penyerangan kali ini memilih pantai jakat sebagai titik mula yang memakan waktu tempuh lebih lama. Kurang lebih 60 menit. Sedangkan Densus 88 bersama Korps Brimob menjadi ujung tombak melalui pantai tapak paderi yang memakan waktu tempuh lebih cepat. Lalu sekitar sepuluh menit kemudian disusul oleh tentara bayaran yang disewa Huang Family dari arah pelabuhan baai. Di saat perhatian mereka sedang terfokus kepada dua arah serangan yang berbeda, kita bisa menyelinap masuk dan segera menyelamatkan sandera. Ah, satu lagi, kalian diperbolehkan untuk membunuh kriminal kali ini. Kita sudah mendapat izin khusus dari pihak Interpol. Bisa dimengerti?"
"Siap, dimengerti!" seru pasukan khusus dengan lantang.
Waktu yang ditentukan telah tiba. Pukul 12.30 tepat, saatnya kami berangkat.
* * * * * * * * * *
Sesampainya di pelabuhan dekat pantai jakat, pasukan khusus dan Inspektur Pandhu segera berloncatan dari mobil dengan gesit. Terlatih sekali. Mereka cepat tanggap mempersiapkan keberangkatan ini. Mengeluarkan persenjataan dan memakai rompi anti peluru tak sampai semenit. Bayangkan. Benar-benar fantastik.
"Adnan ...."
Aku menolehkan kepala ke arah Inspektur Pandhu yang memanggilku. Beliau sudah selesai mengenakan perlengkapan tempurnya. Walaupun Inspektur Pandhu sudah memasuki paruh baya, tubuh kekarnya makin terlihat mengagumkan setelah dilapisi oleh rompi anti peluru yang elegan. Tak salah jika orang-orang memanggilnya sebagai Inspektur Jenderal Pandhu Sanjaya yang gagah nan perkasa.
“Apa kau serius ingin pergi ke sana bersama kami? Bukan apa-apa, pasalnya aku tak bisa menjamin keselamatanmu karena fokus misi kali ini adalah nyawa para sandera.”
“Tenang saja, Inspektur. Aku lebih takut kehilangan orang-orang yang kucintai daripada menjemput kematian atas diriku sendiri.”
Empat buah speed boat mini berkapasitas tiga orang milik Polda yang berwarna hitam putih telah menunggu kedatangan kami dan siap dikendarai. Inspektur Pandhu menyuruhku untuk naik bersamanya. Dadang mengurus kemudi sedangkan Inspektur Pandhu sibuk memberi arahan kepada unit Densus 88 beserta Korps Brimob yang sudah melaju duluan dengan kecepatan tinggi menuju Pulau Tikus. Mereka mengendarai kapal milik Direktorat Polisi Air Baharkam cukup besar. Begitu pula dengan tentara bayaran yang disewa Huang Family. Rombongan kami juga mulai berangkat dengan kecepatan penuh.
Inspektur Pandhu mengenakan earpiece untuk komunikasi antar pimpinan regu. Huang Family sudah membantu banyak demi keselamatan anak semata wayangnya. Kami pun mendapat bantuan alat canggih seperti itu secara cuma-cuma.
"Testing ... Testing ..." Inspektur Pandhu mengetuk pelan earpiece-nya. "Dimana kondisi masing-masing regu?"
"Lapor, regu Densus 88 dan Korps Brimob aman terkendali. Kami sudah berada di titik tempuh 500 meter dari pulau. Ganti."
"The mercenary squad is safe under control. On the way."
"Okay, segera kirimkan para penyelam untuk memeriksa pesisir pulau. Pastikan mereka tidak memasang ranjau laut disekitarnya."
"Siap, laksanakan!"
Aku bergidik ngeri membayangkan ranjau laut yang mempunyai ledakan hebat seperti di film-film Hollywood itu. Sayangnya ini bukan film perang ataupun drama action di bioskop. Aku sedang merasakannya secara nyata.
"Dadang, berapa waktu tempuh yang tersisa?"
"Sekitar 30 menit lagi, Inspektur."
Masih terlampau jauh. Speed boat kami tetap melaju kencang. Gerung mesin dari konvoi speed boat regu kami berbaur dengan alunan suara riak-riak air laut. Pulau tikus yang mungil itu perlahan mulai terlihat dan menunjukkan pesonanya. Siapa sangka pulau seelok ini justru menjadi medan pertarungan antara polisi daerah dengan kriminal ternama internasional.
"Sisa waktu tempuh kita 15 menit dari sekarang," ucap Dadang sambil menatap fokus ke depan.
"Lapor! Tim penyelam sudah kembali ke kapal dengan selamat. Pesisir pulau dinyatakan aman tanpa ranjau laut."
Inspektur mengangguk mantap lantas berkoar penuh semangat. "Attention for the all squad!!! Let's go forward! Kerahkan peluru kalian hingga habis tak bersisa! Habisi musuh secepat yang kalian bisa! Serang mereka dengan kekuatan penuh!"
"Siap, laksanakan!"
"Roger!"
Seketika kemolekan Pulau Tikus yang begitu mempesona dipenuhi oleh hiruk pikuk medan pertempuran. Inspektur Pandhu memerintahkan kepada regu Densus 88 beserta Korps Brimob untuk melakukan serangan intens secara terang-terangan. Dan sesuai perkiraan waktu tempuh yang berbeda-beda, tentara bayaran akan memecah fokus pertahanan selang beberapa saat kemudian. Syukurlah semuanya tidak ada yang meleset dari perkiraan. Regu kami pun sampai dengan selamat di Pulau Tikus dan berhasil masuk tanpa gangguan sama sekali.
Baru saja kami menginjakkan kaki dan mengambil napas lega di atas pulau, tiba-tiba gemuruh ledakan besar terdengar kencang memekakkan telinga. Kami terperangah dibuatnya. Tak sampai satu menit, dentuman kedua yang tak kalah guncangannya meledak-ledak hebat. Menciptakan tanda tanya atas kejadian mencengangkan ini.
Bukannya tim penyelam sudah memastikan kalau tidak ada ranjau laut yang tersebar di pesisir pulau?
* * * * * * * * * *
"Halo?! Regu Densus 88?! Ganti ... Halo?! Korps Brimob?! Laporkan situasi kalian saat ini! Testing ...!"
Sudah lima belas menit sejak ledakan hebat tadi terjadi. Bersamaan dengan terputusnya komunikasi armada kami. Densus 88 dan Korps Brimob sama sekali tidak merespon Inspektur Pandhu yang sedari tadi sibuk menghubungi. Begitu pula regu tentara bayaran. Kami kehilangan kontak atas mereka. Mengetahui kemungkinan buruk ini, kami segera mengambil langkah siaga.
"Ah, ternyata mereka tak sebodoh yang kukira," desah Dadang yang mencomot topik pembicaraan.
Salah seorang pasukan khusus yang lain seketika riuh dalam kecemasan. "Apa yang terjadi dengan regu lainnya? Ledakan tadi tidak menimpa mereka, kan?"
"Tentara bayaran dari negeri Arab itu juga hilang kabar. Sebenarnya apa yang membuat kita kehilangan kontak seperti ini?" tanya pasukan khusus yang lain.
"Jangan-jangan mereka meninggalkan kita di sini dan melarikan diri ke ...."
"TUTUP MULUT KALIAN!!!" teriak Inspektur Pandhu dengan muka merah menahan emosi. "Apa cuma segini semangat kalian sebagai pasukan khusus, hah?! Dimana esensi keberanian yang susah payah kuajarkan selama ini?! Situasi saat ini sedang kacau balau. Dengan kalian berprasangka buruk seperti itu justru makin memperparah keadaan. Aku menyesal telah memberi gelar gendarmerie kepada kalian."
Kami terdiam seketika begitu melihat Inspektur yang sedang naik pitam. Seluruh urat lehernya bermunculan. Pun otot-ototnya yang langsung bertonjolan. Seperti sedang menahan amarah sekuat tenaga. Aku belum pernah menyaksikan Inspektur Pandhu dalam kondisi semarah ini.
"Siapa yang membawa handphone sekarang?" tanya Inspektur Pandhu yang sudah reda dari marahnya.
Seorang di sampingku mengacungkan tangannya. "Saya, Inspektur ..." jawabnya dengan sedikit ragu-ragu.
"Bagus ... Segera hubungi Komando Distrik Militer 0407 untuk mengirim bala bantuan."
"Siap, laksanakan!"
Tepat saat pasukan khusus yang berkulit hitam itu menempelkan handphone pada telinga, sebuah timah panas yang entah dari mana asalnya melesat cepat secara akurat. Menembus dahi pasukan itu dan membuat tubuhnya terlontar jauh. Saking kuatnya tembakan mematikan tersebut. Cipratan darahnya mengenai sebagian besar bahuku. Kami yang masih terkejut menghadapi serangan mendadak tadi segera tiarap dan tetap menunduk ke bawah.