"Ta, kamu...akhir-akhir ini mengalami sesuatu yang...yaa bisa dibilang aneh atau janggal nggak?"
Leta dalam mode fokus pada buku benar-benar tak merasakan hal aneh apa pun dengan pertanyaan itu. Ia malah sibuk menggeser buku yang ia mau pinjam dan menandainya dengan pensil. Linki mengikutinya di belakang, mengawalnya agar tak melakukan hal bodoh lainnya seperti tertidur di perpustakaan lagi.
"Ha? Nggak tuh, hidup mah gitu-gitu aja Ki. Lepas satu masalah, datang masalah lainnya. Contohnya panci yang baru dibeli Bi Asih langsung jebol karena ternyata kw banget bahannya. Gitu deh, ehh Ki buku itu tadi di rak berapa ya? Lupa aku tulis, bentar yaa."
Begitulah pertanyaan penting Linki dianggap angin lalu begitu saja oleh Leta. Padahal Linki sudah sangat yakin teorinya, bahwa mereka berdua akan mengalami mimpi yang sama setelah satu minggu berlalu, semenjak mimpi itu pertama kali datang.
Tetapi keanehan lainnya adalah setelah satu minggu berlalu semenjak ia menanyakan perihal teorinya itu. Mimpi itu berhenti begitu saja, sempurna hilang tanpa jejak. Mendapati keadaan yang berubah, Linki memutuskan tak lagi memikirkan mimpinya.
Tanpa beban, Linki menjalani kehidupan putih abu-abunya bersama Leta kembali dengan tenang. Namun, satu pertanyaan lainnya dari Leta akhirnya membuyarkan keyakinan Linki kemudian.
"Ki, misal nih ini misal ya aku punya kekuatan supernatural yang aneh banget. Di mana kemampuan itu bisa bikin kita melihat takdir manusia, aneh nggak sih? Hahahaa." Meski diakhiri dengan tertawaan, Linki tau itu adalah tawa yang dibuat-buat.
"Kalau menurut aku ya, justru itu bagus loh. Kalau kita tau apa aja yang akan menimpa orang-orang kita bisa menolong mereka kan?" tanya Linki menatap Leta.
Leta tak menoleh padanya, ia malah asik menatap pantai yang nun jauh di sana. Sampai perkataannya selanjutnya mengundang tanya tanya lainnya untuk Linki.
"Tapi nggak bisa semudah itu loh Ki. Kita nggak bisa mengubah takdir manusia lainnya, kita hanya diberi keistimewaan untuk tau dan menyaksikan takdir itu bekerja."
Linki ikut bergabung menatap pantai itu, memegang erat pagar pembatas rooftop gedung sekolah.
"Nggak salah memiliki kemampuan seperti itu kok Ta. Karena itu keistimewaan yang nggak bisa didapatkan semua orang. Itu anugerah dari langit."
"Tapi itu juga bisa jadi kutukan Ki. Yang akan menghancurkan diri penerimanya cepat atau lambat." Leta terdiam lama setelah mengatakan sepotong kalimatnya.
Entah mengapa Linki merasa Leta tak main-main dengan perkataannya ini. Tapi ia juga tak bisa menghubungkan, jika memang Leta memiliki kemampuan seperti itu apa hubungannya dengan dirinya dan pria misterius itu? Setelah susah payah mengenyahkan pikirannya ini, Linki mengeluh karena kembali berpikir akibat pertanyaan absurd lainnya dari Leta.
"Eh Ki, kita harusnya sekali-kali bawa anak-anak panti healing ke pantai nggak sih? Aku liat-liat dari tadi pantai itu bagus juga." Leta menunjuk dengan riang pantai yang sedari tadi mereka pandang.
Linki menepuk keningnya pelan, ternyata hanya dirinya yang terlalu overthinking.
--------------------
Namun, semua akibatnya mulai menunjukkan wujudnya. Rooftop yang menjadi tempat merenung dan pelarian Leta dan Linki sewaktu jam pelajaran kosong, langsung berubah suram.