Hujan merintik jendela kaca ruang kerjanya yang hanya diterangi lampu meja. Jarum jam nyaris menembus angka dua dini hari. Alea Ranitha masih duduk di balik meja berkasnya yang berantakan—laptopnya menampilkan rekening tabungan yang kosong, sementara ponselnya bergetar terus-menerus, menampilkan panggilan tak terjawab dari debt collector.
Di meja, surat penagihan rumah sakit ibunya menunggu. Jumlahnya mustahil ditutup dengan gajinya sebagai editor majalah yang tak pernah naik selama dua tahun terakhir.
Alea memejamkan mata, memijit pelipis. Dadanya sesak, bukan hanya oleh penat, tapi juga oleh rasa marah yang meledak pada nasib yang tak pernah berpihak padanya.
Hingga suara pintu diketuk—pelan, nyaris tak terdengar.
Alea mengangkat kepala. Siapa yang datang jam segini?
Sebelum sempat berdiri, pintu sudah terbuka. Seseorang melangkah masuk. Langkah sepatu kulit bergema di lantai marmer ruang kerjanya.
Pria itu tinggi, mengenakan jas hitam, rambutnya disisir rapi ke belakang, wajahnya setengah tertutup bayangan ruangan yang minim cahaya. Tapi matanya—hitam pekat—memancarkan sesuatu yang membuat tengkuk Alea meremang.
“Siapa Anda?” Suara Alea terdengar lebih berani daripada nyalinya. Tangannya meraih ponsel di meja, berjaga kalau-kalau pria itu orang suruhan penagih utang.
Pria itu menatapnya, tatapannya dingin namun anehnya membuat dada Alea terasa sesak.