“Lo sadar gak, Kumo?” tanya Dara dengan ekspresi masih penasaran
“Kalau lo mulai nanya kayak gitu, biasanya pertanyaan lanjutannya bikin gue pusing,” sahut Kumo sambil jungkir balik di atas tumpukan buku Dara.
“Lo beneran... dewa?” Dara duduk di lantai, memeluk lututnya. “Maksud gue, kenapa kayak gini bentuknya? Gue kira dewa itu tinggi, bercahaya, punya tongkat petir, atau minimal... ya, elegan lah ganteng kayak Lee Min Ho gitu. Hahahaha”
Kumo berhenti salto, lalu duduk santai sambil mengunyah marshmallow.
“Gue dulu begitu. Tapi itu zaman manusia masih nyembah hujan. Sejak manusia lebih percaya ke algoritma, bentuk gue juga berubah. Ini hasil downgrade. Efek pensiun dini.”
“Pensiun dari dunia... ketuhanan?”
“Yap. Waktu terakhir, gue punya 1.000 pendoa aktif. Sekarang tinggal satu: lo.”
Dara menatapnya. “Gue gak pernah doa serius ke siapa pun.”
“Lo berharap,” jawab Kumo datar. “Dan kadang, harapan paling nyeleneh bisa nyambung ke dimensi tempat gue tinggal.”
---
Dara mencoba menjalani kuliah seperti biasa. Tapi tentu saja, ‘biasa’ sudah tidak berlaku ketika punya makhluk supranatural menyamar sebagai gantungan kunci di tasnya.
Kumo menempel di ritsleting tas dengan mode “boneka tidur”, dan sesekali berkomentar langsung di kepala Dara.
“Yang itu ketua himpunan, ya? Aura dominasi banget.”
“Lo jangan duduk deket cowok jaket merah. Dia bawa energi sial.”
“Dosen itu... hmmm, punya trauma masa kecil. Waspada ya.”
Dara terus menunduk, pura-pura sibuk main HP. Tapi kadang dia tidak bisa menahan ekspresi jengkel.
“Lo tuh kayak Google, tapi nyolot,” gumamnya.
Kumo tertawa. “Gue kayak Google versi gaib. Tapi gak bisa disuruh nyari cara bikin pancake.”
---
Dara bertemu Nina dan Arul di kantin. Kumo, tentu saja, ikut duduk di bahu Dara meski tidak ada yang bisa melihatnya.
“Dara, tadi kamu abis ngobrol sama siapa sih di tangga belakang?” tanya Nina sambil menyeruput es kopi.
“Ngobrol? Sendiri kok.”