Kontrak Dengan Dewa Pengangguran

slya
Chapter #6

Bab 6: Hari Tanpa Dewa

Pagi itu, Dara terbangun dengan perasaan janggal. Udara di kamarnya lebih dingin dari biasanya, meski jendela tertutup rapat. Ia meraba lehernya, mencari benda yang tak pernah lepas sejak malam kontrak itu terjadi—kalung kecil berbentuk awan hitam, tempat Kumo biasa bersembunyi.

Tapi... kosong.

“...Kumo?”

Tidak ada jawaban.

Biasanya, sejak Dara bangun, suara malas Kumo sudah langsung terdengar. Entah mengomel soal manusia yang terlalu ambisius, atau minta dibuatin mi instan sebagai ‘upeti pagi’.

Dara duduk tegak. Ia membuka laci, memanggil-manggil Kumo dari dalam tas, bahkan menyentuh simbol kontrak di bukunya. Tapi tak ada reaksi. Seolah... kontrak mereka terputus.

“Kumo... lo di mana?”

Tak ada respon. Tak ada suara. Bahkan hawa magis samar yang biasa menyelubungi kamar Dara kini lenyap total.

---

Kampus pagi itu tetap sibuk seperti biasa. Mahasiswa lalu-lalang, kantin penuh aroma gorengan dan kopi sachet. Tapi dunia Dara terasa sepi.

Di kelas, ia tak bisa konsentrasi. Bayangan tentang “dimensi antara” dan simbol tiga mata terus menghantuinya. Lebih dari itu—hilangnya Kumo membuatnya sadar betapa selama ini ia bergantung pada si dewa pengangguran itu, meskipun Kumo selalu sok malas.

“Tanpa dia... gue kayak nyemplung sendirian ke jurang yang gak gue ngerti seberapa curam dan terjalnya jurang itu," gumam Dara lirih.

Sepulang kuliah, ia bergegas ke perpustakaan. Ia ingat satu hal—buku yang pernah dibuka Pak Seto. Mungkin jika ia bisa menemukannya, ia bisa memahami lebih banyak tentang kontrak dan dimensi lain itu.

Namun, setibanya di sana, Dara malah bertemu sosok yang tidak ia harapkan: Nina.

Nina duduk di pojok ruangan, di depan sebuah buku tebal tua... yang sangat mirip dengan buku Pak Seto. Simbol di sampulnya—lingkaran dan garis silang—menyala samar.

“Nina... kamu baca apa?” tanya Dara, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Nina menutup buku itu cepat, lalu tersenyum tipis. “Cuma riset buat tugas.”

Tapi mata Nina... tak bisa berbohong. Tatapan kosong itu kembali. Aura di sekitarnya seperti berdenyut pelan—gelombang yang hanya Dara rasakan. Dan makin dekat ia berdiri, makin kencang detak jantungnya.

“Aku bisa bantu risetnya,” tawar Dara.

“Gak perlu,” jawab Nina cepat, lalu berdiri sambil menyimpan buku itu ke dalam tas.

Sebelum pergi, ia menoleh dan berbisik pelan. “Kamu... pernah ngerasa dunia ini gak nyata, kan?”

Lihat selengkapnya