Hari itu kampus terlihat seperti biasa: mahasiswa hilir mudik, suara motor berderu, dan angin membawa aroma kantin sore hari. Tapi di mata Dara, semuanya tampak lebih suram. Seperti realitasnya tak lagi penuh, seperti ia hanya hidup di sisi kertas.
Ia duduk di sudut perpustakaan baru—yang terasa terlalu terang dibandingkan tempat dia nyaris kehilangan segalanya malam sebelumnya. Di tangannya, buku terbuka, tapi pandangannya kosong.
“Gue bisa jadi kunci.”
Kata-kata Nina berputar di kepalanya, menusuk lebih dalam dari luka mana pun.
Kumo muncul dari balik lengan jaketnya, bentuknya kecil seperti biasanya. Tapi kali ini, auranya agak lelah.
“Lo masih shock,” gumamnya.
Dara tak menjawab.
Kumo menghela napas, duduk di meja di sebelah buku.
“Nina gak sepenuhnya bohong, lo tahu itu. Lo memang unik, Dar. Kontrak kita... ngelink dua jalur yang biasanya gak bisa disatuin. Dan kalau lo buka Gerbang Awal, lo bisa nyambungin semua lapisan realitas.”
Dara menoleh pelan. “Tapi kenapa gue? Gue gak punya tujuan mulia. Gue bukan pahlawan.”
“Justru karena itu,” jawab Kumo. “Lo gak punya ambisi yang bisa disalahgunakan.”
Sunyi. Lalu Dara berkata, “Kalau gitu, yang punya ambisi kayak Nina... mereka bisa nyetir sistem itu sesuka mereka, ya?”
Kumo mengangguk perlahan.
“Dan lo... lo tahu sejak awal?”
Kumo tampak bersalah. “Gue harap lo gak perlu tahu. Tapi Nina tahu lo bakal ngerasa terpanggil. Dia... jenius, Dar. Bahkan sebelum terjebak di Antara.”
---
Hari itu Dara pulang lebih awal. Di tengah jalan, dia melihat bayangan—bukan bayangan manusia, tapi bayangan yang bergerak sendiri. Ia menoleh, dan simbol kontraknya bergetar. Tanpa pikir panjang, ia mengikuti bayangan itu ke lorong kecil di belakang fakultas seni.
Di ujung lorong, ia bertemu seseorang.
Seorang laki-laki muda, berambut putih pendek, mengenakan seragam kampus model lama dan bros berbentuk mata tertutup. Wajahnya asing, tapi simbol di tangannya menyala dalam frekuensi yang serupa milik Dara.
“Dara, kan?” tanyanya pelan.
“Siapa lo?”