Gedung C telah lama menjadi tempat yang dihindari mahasiswa. Bukan karena ada kejadian seram, melainkan karena tak terpakai. Terletak di sisi paling belakang kampus, bangunannya seperti lupa untuk tumbuh bersama waktu—catnya mengelupas, jendelanya buram, dan lorong-lorongnya sunyi seperti rumah sakit yang ditinggalkan.
Namun malam itu, langkah Dara dan Rey menggema di dalamnya. Kumo melayang di atas bahu Dara, tubuhnya lebih padat dari biasanya—waspada.
“Di mana lemari itu?” bisik Dara.
Rey tak menoleh. Ia berjalan mantap, hingga sampai di sebuah pintu besi tua yang dikunci dengan tiga rantai dan simbol-simbol kuno yang berpendar samar.
“Di balik pintu ini,” katanya, lalu mengeluarkan segel bulat dari dalam saku jaketnya. Segel itu berdetak seperti jantung.
Rey menekan segel itu ke permukaan pintu. Cahaya membesar, lalu rantai satu per satu meluruh menjadi debu. Bau besi tua dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia keluar dari celah pintu yang terbuka.
Lemari Kontrak Lama berada di tengah ruangan seperti altar. Terbuat dari kayu hitam mengilap dengan pahatan wajah-wajah kecil di permukaannya—seperti manusia yang sedang berteriak diam-diam.
“Gue bisa ngerasa tekanan dari dalamnya,” bisik Kumo, matanya menyipit. “Ini bukan lemari biasa. Ini tempat semua kontrak pertama disimpan... dan semua kesalahan pertama dimakamkan.”
Rey berjalan pelan, membuka pintu lemari. Di dalamnya, berjajar gulungan-gulungan kontrak tua. Di tengah-tengah, ada satu buku kulit besar berwarna merah gelap, dan satu kaca bundar seukuran kepala manusia.
“Kaca itu apa?” tanya Dara, hati-hati.
“Itu bukan kaca. Itu sisa dari tubuh simpul pertama. Dia pernah hidup, lalu larut jadi pintu penghubung,” jawab Rey tanpa emosi.
Dara menelan ludah. Ia bisa melihat siluet samar di balik permukaan benda itu—seperti bayangan seseorang yang sedang memandang balik.